Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

"Hijrah" Salah Arah dan Novel Alchemist

Diperbarui: 16 Mei 2019   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ukhti ~ Sumber gambar: ShutterStock

"Berhijrah" memang bermasalah jikalau tidak menemukan lingkungan yang mendukung untuk menjadi lebih baik, tidak merubah cara pandang yang sebelumnya berseberangan. 

Dalam prolog novel fenomenalnya, Alchemist, Alchemist sedang membaca kisah yang Paulo Coelho menarasikan si The. Kisah Narcissus yang dinarasikan Coelho tersebut layak dikutip sebagai referensi kontemplatif bagi cara beragama kita, atau mungkin sebagain orang lainnya, dalam dunia yang penuh kesimpang-siuran ini.

Diceritakan setelah kematian Narcissus, Dewa hutan keluar dan bertemu dengan danau di mana Narcissus terjatuh di dalamnya. Danau yang semula airnya segar berubah menjadi asin karena kesedihan si danau. 

Dewa mengatakan Ia tak terkejut melihat bagaimana Danau menangisi Narcissus karena si Danau mendapat kemewahan yang selama ini dicari oleh para Dewa, keindahan rupa Narcissus. Si Danau menanyakan serupawan itukah Narcissus hingga seluruh Dewa rela mengembara untuk menemukan keindahannya?

Mendengar ini sang Dewa terkejut, "Bukankah engkau yang seharusnya lebih tahu keindahan Narcissus, Danau? Hanya di tepianmu selama ini ia berkontemplasi merenungi keindahan dirinya."

Mendengar ini Danau memberikan jawaban yang  maknanya teramat dalam; "Aku menangisi kepergian Narcissus, tapi aku tak pernah menyadari bahwa ia begitu rupawan. Aku menangis. Karena setiap kali ia berlutut di tepiku, aku mampu melihat, di ke dalaman matanya, terpancar keindahanku".

Kalimat terakhir si Danau ini menghentak kesadaran, lebih dalam lagi, kesadaran beragam. Kita hidup di tengah-tengah kaum agama yang tak kalah narsisnya dari Narcissus, dan secara tidak sadar pola pikir keagamaan yang narsisitik inilah yang juga melekat pada diri kita.

Sederhananya begini, dalam diri sebagian seringkali terdapat sebiji atom perasaan bahwa agamanya paling baik dan benar. Apakah yang demikian lantas salah?

Sejujurnya tidak. Pengakuan bahwa agama yang kita peluk adalah yang paling baik dan benar adalah manifestasi dari kebanggaan dan kecintaan kita atas apa yang kita yakini. Yang kemudian menjadi salah adalah ketika pengakuan itu kita gunakan untuk menjustifikasi agama dan cara beragama orang lain; memberikan jarak dan membelah manusia dalam bilik agama yang berbeda.

Masih lekat dalam ingatan saya perdebatan dengan salah satu kawan baru saat belum lama ini. Ia bersikeras bahwa agama adalah ego. Beragama, bagi kawan saya tersebut, menjadikan manusia merasa paling superior atas yang lain. Agama adalah kotak yang memenjarakan akal dari atmosfer perdamaian dan kesetaraan dalam kemanusiaan. Agama telah merenggut jutaan nyawa manusia atas nama pembelaan terhadap Tuhan. Agama menggaransi tindakan-tindakan radikal dengan balasan surga yang konon bonus bidadari di dalamnya. Agama membenarkan kekerasan, menyebut teroris sebagai martir dan lebih dari itu, melukai harga diri kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline