Lihat ke Halaman Asli

Hariadhi

Desainer

Toraja, Tak Selamanya Soal Upacara Kematian

Diperbarui: 14 Oktober 2019   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Kalian itu coba kembangkanlah wisata lain, jangan jualan kematian terus. Banyak potensi Toraja yang bisa digarap," Kata teman saya, Zed Parenta, menirukan sindiran Jusuf Kalla saat berkunjung ke Negeri di Awan, Toraja Utara. Entah benar Jusuf Kalla menyebutkan gurauan itu atau tidak, saya tidak tahu. 

Tapi kalau dipikir-pikir ya benar juga, selama ini kita mengenal Toraja dari upacara kematiannya. Yang sensasional tentu saat upacara memapah jenazah yang sudah tersimpan bertahun-tahun lamanya ke tempat peristirahatan terakhir.

Rumah Adat Toraja, Dokpri

Bangunan-bangunan di Toraja memang cenderung berwarna gelap suram, didominasi warna coklat dan hitam. Sepanjang perjalanan, saya bahkan melihat ada bangunan kecil tanpa pintu depan, hanya jendela kecil. "Itu namanya Patane, Mas Har. 

Tempat persemayaman jenazah keluarga. Biasanya ada banyak di situ, lima sampai enam jenazah," Jelas Wardhana Sello Parenta, Direktur Utama Axelle yang hari sebelumnya sudah berbaik hati mengundang saya ke pelatihan bersama antara karyawan PT Axelle dengan Suara Relawan Muda, dan dimeriahkan pula oleh para bro dan sis kader PSI Toraja.

Patane, dokpri

"Kalau masalah budaya Toraja, tanyakan ke Bro Rigel Senobawan Manga, dia ahlinya budaya Toraja dari luar sampe dalam, dikupas tuntas!" Kata Zed berusaha mempromosikan temannya. 

Memang Senobawan adalah aktivis politik, sosial, dan budaya yang sangat mencintai negerinya. "Sudah kerja keliling Indonesia, punya anak istri di Jakarta, tapi dia tetap lebih memilih kerja dan berbuat sesuatu untuk kampungnya, Toraja. Ia cukup aktif berorganisasi dan berpolitik di daerah asalnya.

Tapi lagi-lagi soal cap soal wisata kematian di Toraja, bukan berarti tidak ada keindahan lain yang tersimpan di dalamnya, misalnya ya soal Negeri di Atas Awan itu.

Negeri di Atas Awan To Tombi, Dokpri

Ada beberapa spot untuk menikmati awan yang berkumpul di bawah kaki kita, tapi katanya yang terbaik adalah di Lolai. Sayang pagi itu kami tidak sampai ke puncaknya. Hanya sekitaran To'Tombi, karena hujan keburu mengguyur sedari pagi. 

Sehingga bukannya pemandangan yang indah, yang ada malah kabut tebal yang menghalangi pandangan secara total. Belum lagi guyuran air dingin yang menusuk sampai tulang. Saya menggigil di perjalanan karena hanya memakai kaos. "Harusnya bawa jaket, mas," Saran Zed. Tapi mbuh ya sudah terlanjur.

"Ayo kita ke Patung Yesus saja," Ajak Wardhana. "Tadi saya telepon teman yang lain katanya di sana hujannya sudah berhenti." Nah kalau yang ini saya semangat. Karena sepanjang perjalanan ke sana memang terlihat perlahan hujannya mulai kering. Menjelang naik, kami harus sedikit berputar, karena ada jalan yang ditutup karena acara gereja.

"Kalau soal agama begini, tidak di Jakarta, tidak di Toraja, mau Islam atau Kristen, mau kebaktian, mau pengajian,  tampaknya sama saja ya, nutup jalan," komentar saya sambil tertawa-tawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline