Lihat ke Halaman Asli

Korupsi sebagai Minyak Pelumas Sistem Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 19 September 2016   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tadjuk Rentjana “kompas”, 14 September 1965 dalam Budiman Tanuredjo, 2014 memberikan tanggapan tentang korupsi di tahun 1965 yang menyatakan :

soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah “pembitjaraan lagi”, tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”

Tajuk rencana kompas berjudul “pentjolengan ekonomi” menggambarkan bagaimana koruptor adalah pencoleng ekonomi mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi minyak dan pupuk, dan persidangan salah satu direktur pabrik gula kebon agung di malang gara-gara menerima suap dari pembuatan parit dan pembangunan gedung. Dari peristiwa tersebut membuat semua pihak berefleksi apakah bangsa ini bisa belajar dari satu kasus korupsi ke korupsi lainnya? Apakah bangsa ini serius memberantas korupsi?

Diksi korupsi kali ini akan di diskusikan dengan menggambarkan penglaman aktor-aktor indonesia dalam mengatasi permasalahan korupsi. Yang menyangkut penindakan, diskusi, dan isu pendidikan di dalam maupun di luar negeri. Korupsi pada intinya adalah perampokan uang negara untuk kepentingan pribadi. Namun, dalam prakteknya terjadi sofistifikasi menjadi kolusi, nepotisme, gratifikasi. Istilah itu seakan mengaburkan pemahaman korupsi yang pada intinya adalah perampokan uang rakyat. Dalam pandangan corruption apologist dalam buku korupsi mengorupsi indonesia, korupsi/suap dipandang sebagai insentif agar birokrasi melayani publik dengan sebaik-baiknnya dengan kata lain dipandang sebagai minyak pelumas sistem ekonomi indonesia (grease the wheels).

Korupsi masif pada era reformasi seakan membuka lagi perdebatan bagaimana strategi memberantas korupsi. Ruang diskusi di hotel, kampus, media, termasuk di media sosial, semua berwacana soal korupsi. Kritik soal vonis hakim yang ringan, gagasan soal perlunya pakta integritas, usulan soal pemiskinan koruptor, ada permintaan pemotongan jari, ada ungkapan gantung di monas. Akan tetapi semua itu berhenti pada wacana. Pandangan tentang pentjolengan ekonomi 1965, masih relevan. “ yang ditunggu rakyat bukanlah pembicaraan lagi, melainkan tindakan konkret : tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, dan tembak! Ini masih relevan sampai sekarang untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

Korupsi Masalah Sistemik

Kerusakan akibat korupsi sudah sedemikian sempurna. Bangsa ini sulit terbebas dari jerat korupsi karena ini memang ada kaitannya dengan cara indonesia berdemokrasi. Dilihat dari lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pegontrol eksekutif ini sejak era reformasi mempunyai fungsi lain, ikut terlibat dalam pemilihan pejabat publik. Mulai dari hakim MK, Gubernur Bank Indonesia (BI), duta besar, hingga komisioner negara. Tak terkecuali komisioner KPK, mereka ikut terlibat memilih.

DPR tak hanya punya fungsi penganggaran dan legislasi. DPR juga ikut menentukan siapa menjadi apa dalam struktur kenegaraan indonesia. Disisi lain, tidak murah ongkos menjadi anggota DPR. Salah satu potensi muncul dalam kewenangan DPR menetukan pejabat publik. Masih ingat dalam benak bangsa ini, puluhan anggota DPR periode 1999-2004 masuk bui karena menerima cek perjalanan seusai mimilih miranda swaray goeltom sebagai deputi gubernur senior BI.

Ini sekelumit dari sekian kasus korupsi di negeri tercinta kita. Adapun penyebab maraknya korupsi ada kaitannya dengan cara indonesia berdemokrasi. Wakil ketua DPR Purnomo Anung dalam disertasi doktoralnya yang di publikasikan dalam khaerudin (Tinjauan Kompas,2014) menyebutkan “penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif di khawatirkan meningkatkan biaya politik. DPR akan dipenuhi orang yang mengandalakan popularitas atau dukungan finansial ketimbang kader yang berkontribusi dengan membesarkan partai”. Politikus PDI-P pun berani menyimpulkan, potensi penyelenggaraan kekuasaan anggota DPR menjadi terbuka dalam sistem pemilu seperti pada tahun ini merupakan tahun pemilu.

Pola Dan Kecenderungan Korupsi

Ongkos mahal menjadi anggota DPR yang sebenarnya menjadi tidak seimbang dengan pendapatan resmi dari gaji dan tunjangan akhirnya tertutupi dengan korupsi. Mereka yang berhasil menikamati hasil korupsi pun tak jera karena hukumannya di indonesia masih ringan. Pidana penjara jarang menyentuh hukuman maksimal. Ini belum termasuk potongan masa tahanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline