Lihat ke Halaman Asli

Cerita Dari Tiga Balata

Diperbarui: 12 September 2018   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Tiga Balata, kota kecil di Kabupaten Simalungan Provinsi Sumatera Utara, kota yang teduh, tenang dan jauh dari kebisingan. Demikian aku menggambarkan, setiap aku teringat pada kota kecil ini. Sebagai kota asal bagi perantau yang terlahir disini, kota ini sudah pasti menjadi sebuah kenangan yang indah, dan menjadi sasaran puja puji.

Secara umum, penduduk Tigabalata dan sekitarnya hidup dari hasil pertanian. Sekalipun ada penduduk sebagai aparatur negara, jumlahnya tidaklah seberapa, karena instansi pemerintahan di kota ini tergolong sangat kecil jumlahnya. Selebihnya, penduduk Tigabalata dan sekitarnya juga bekerja menjadi karyawan di perkebunan serta menjadi masyarakat yang bekerja secara serabutan.

Sebelum diganti menjadi perkebunan kelapa sawit, dulunya Tigabalata dikelilingi perkebunan teh. Mulai dari Simpang Parmonangan, Sibunga-bunga sampai Hutaurung semua itu adalah wilayah perkebunan teh. Tetapi kini semua telah berubah. Tidak adalagi kebun teh, melainkan kebun kelapa sawit.

Mayoritas penduduk Tigabalata didiami masyarakat etnik Batak Toba, kemudian Batak Simalungun lalu etnik Jawa dan sebagian kecil etnik lain. Mereka tersebar diberbagai tempat di sekitar Tigabalata, dan telah memeluk agama Kristen, Katolik dan Islam. Walaupun ada, tak seberapa penduduk yang masih memeluk agama tradisional.

Hal yang unik dari kota kecil ini adalah, gelar pasar tradisional yang hanya terselenggara sekali dalam sepekan. Kalaupun dua kali, satu diantaranya hanyalah pasar yang bersifat asal ada. Artinya, komoditi yang dijual sebagai kebutuhan pasar tidaklah selengkap saat pasar utama digelar.

Dengan demikian, kota ini akan tampak hiruk pikuknya kala pasar tradisional sedang berlangsung, yaitu pada hari Jumat setiap pekannya. Selebihnya, hari demi hari akan terasa sepi.

Sekalipun kota ini tergolong sepi, namun kendaraan terus lalu lalang melalui kota ini. Kota kecil ini menjadi salah satu lintasan jalan provinsi, yang terkenal dengan sebutan jalan "Antar Lintas Sumatera". Kendaraan yang lalu lalang itulah, sesekali dengan berani memecah keheningan, melintas lalu pergi, kemudian meninggalkan kota Tigabalata seolah tak peduli.

Selain itu, kota kecil ini juga disebut dengan "Balata Pokkan" ( baca - Balata Pekan). Kata pekan ditambahkan, untuk lebih menegaskan wilayah mana yang hendak diberitahukan. Dengan menyebut Balata Pokkan, orang-orang sekitar akan mengetahui bahwa yang dimaksud adalah Tigabalata, tempat pasar tradisional diselenggarakan setiap pekan.

Sekecil apapun Tigabalata, kota ini tentu sangat dicinta oleh masyarakatnya dan akan selalu dirindukan oleh perantaunya. Relasi antar masyarakat yang berdasarkan asas kekeluargaan yang kuat, membuat kerinduan setiap perantau terus meninggi lalu melahirkan keinginan untuk kembali pulang dan berinteraksi di kampung halamannya ini.

Kampung halaman adalah sebuah tempat dimana berbagai peristiwa bisa tercipta, dan menjadi alat yang baik untuk digunakan dalam mengenang peristiwa masa silam. Ia menjadi tempat tujuan pulang dari perantauan, tempat yang selalu dirindukan saat keinginan pulang kampung belum sempat terwujud.

Sekalipun aku bukan putera daerah Tigabalata, namun tak sedikit kenanganku tinggal di kota ini. Dengan tak menapikan unsur lain, cinta adalah salah satu alasan mengapa aku harus berhubungan dengan Tigabalata. Karena urusan asmara, kemudian aku sering melintas di kota ini, sehingga aku mengenalnya lebih banyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline