Lihat ke Halaman Asli

"Toilet" dan Status Agama dalam Negara

Diperbarui: 18 April 2018   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustration by Chester Holme

"Agama tidak mati-mati. Tetapi juga sekularisasi. Jangan-jangan kedua sebenarnya tidak bertentangan."

Demikian tulis penyair dan budayawan, Goenawan Mohamad (Tempo, 12/12/10). Kegelisahan ini selaras dengan pencarian penyair fenomenal Joko Pinurbo (Jokpin) dalam puisinya Toilet I (1999). Toilet merupakan formulasi ketersembunyian, keterbelakangan, konservatif, dan beraroma privat. 

Mengunjungi toilet berarti menemukan identitas diri orang lain, menguyah corak hidup mereka yang tersirat di dalamnya, dan menginterpretasi keunikan tertentu yang dilestarikan.

Karena alasan tersebut, toilet senantiasa menjadi sorotan utama dalam aneka perbincangan, menempatkannya pada sebuah status dilematis. Kriteria sebuah rumah yang baik dan sehat tidak terlepas dari adanya toilet mengisyaratkan bahwa tidak ada negara tanpa agama.

Ia sangat mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain/rumahnya/Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur/boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh/agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahannya/dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci,/tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri.

Agama: ruang privat(?)
Indonesia sebagai sebuah negara plural dalam berbagai bentuk senantiasa dihadapkan pada kecemasan yang luar biasa (jika tidak disebut sebagai tantangan). Masing-masing kelompok kontingen menjaga kepentingannya dari tatapan asing orang lain.

Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita/padahal kita dapat dengan mudah menemukannya,/yakni saat bertahta di atas lubang toilet./Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas/dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang/dekat toilet, karena kita memang tidak ingin ada orang lain/mengintip wajah kita yang sebenarnya.

-Joko Pinurbo-

thenindonesianinstitute.com

Ketika terjadi aneka kesenjangan sosial dan ketakteraturan hidup, pertanyaan pertama yang diutarakan selalu berorientasi pada agama. Agama menjadi sorotan utama mengapa hal destruktif tersebut menjadi mungkin. Begitu pun sebaliknya, sikap cemburu dan pertentangan semakin menguat akar apabila hadirnya orang lain menjadi pengganggu keselarasan hidup dalam konteks hidup agama tertentu.

Orang lain dilihat sebagai negasi kebebasan diri atau oleh Jean Paul Sartre sebagai neraka. Tidak heran jika realitas intoleransi kian marak dan meningkat setiap tahun. Direktur The Wahid Institute, Zannuba Arrifah Chafsoh Rahman Wahid alias Yeni Wahid mengatakan setidaknya selama tahun 2012 terjadi 274 kasus dan 363 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 dengan 267 peristiwa, 2010 184 peristiwa dan 2009 121 peristiwa (Kompas, 29/12/12).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline