Lihat ke Halaman Asli

hanifahaini

mahasiswa

Review Book Peradilan Agama di Indonesia

Diperbarui: 29 September 2025   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVIEW BOOK PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
NAMA: Hanifah Nur A.
NIM: 232121005
KELAS: HKI 5A

Judul Buku: Hukum Acara Peradilan Agama
Penulis: M. Khoirur Rofiq

Bab 1 bersifat pengantar yang memberi dasar teoretis mengapa hukum acara peradilan agama penting dipelajari. Penulis menekankan fungsi hukum acara sebagai pedoman teknis penegakan hukum perdata Islam di pengadilan, serta merinci tujuan pembelajaran dan peta konsep buku agar pembaca memahami alur materi yang disajikan.
Bab 2 menjabarkan secara sistematis dasar-dasar hukum acara Peradilan Agama: pengertiannya, akar sejarahnya di Indonesia, serta kedudukan dan kewenangannya (baik absolut maupun relatif). Dengan membaca bab ini, pembaca mendapatkan fondasi untuk memahami mengapa dan bagaimana Pengadilan Agama beroperasi, apa yang menjadi kewenangannya, dan di mana gugatan harus diajukan. Bab ini juga memperlihatkan perjalanan panjang pengakuan hukum acara Peradilan Agama hingga menjadi bagian resmi sistem peradilan nasional.
Bab 3 menegaskan bahwa hukum acara Peradilan Agama di Indonesia bersumber pada hukum acara perdata umum yang berlaku di Pengadilan Negeri, kecuali bila diatur khusus oleh undang-undang Peradilan Agama. Sumber-sumber itu meliputi peraturan kolonial (HIR, RBg, Rv), KUHPerdata, KUHDagang, UU Peradilan Ulangan, hingga UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan pemahaman sumber ini, dapat memiliki bekal untuk menelusuri dasar hukum setiap prosedur beracara di Pengadilan Agama.
Bab 4 menegaskan bahwa asas-asas hukum acara Peradilan Agama adalah landasan normatif sekaligus etis yang harus dijalankan hakim dan pihak berperkara. Ada asas umum yang berlaku di seluruh peradilan, asas khusus yang mencerminkan karakter Peradilan Agama, asas teknis penyelesaian perkara perdata Islam, dan asas yang mengatur integritas pejabat peradilan. Pemahaman menyeluruh atas asas ini penting agar proses beracara berjalan sesuai hukum, adil, efisien, dan mencerminkan nilai-nilai Islam serta Pancasila.
Bab 5 memberikan fondasi praktis dengan mengenalkan berbagai tipe perkara di Peradilan Agama, pihak-pihak yang terlibat, serta hak-hak yang disengketakan sehingga penting sebagai bekal sebelum mempelajari mekanisme beracara. Klasifikasi perkara yang jelas---antara permohonan, gugatan, perlawanan, dan vrijwaring---mempertegas jalur hukum dan mempengaruhi prosedur serta istilah pihak yang digunakan. Bab ini juga menunjukkan bahwa pihak berperkara tidak selalu hanya dua, karena adanya intervensi dan vrijwaring yang mencerminkan dinamika peradilan agama yang melibatkan banyak pihak untuk menjamin keadilan. Lingkup kewenangan Peradilan Agama yang luas, mencakup tidak hanya perkawinan dan waris tetapi juga hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah hingga ekonomi syariah, memperlihatkan peran strategis lembaga ini. Secara praktis, hakim, panitera, advokat, dan mahasiswa hukum perlu memahami klasifikasi perkara dan hak-hak yang disengketakan agar dapat menangani perkara secara tepat. Dengan demikian, Bab 5 menjadi jembatan yang mempersiapkan pembaca untuk memahami peran hakim, panitera, juru sita, dan mekanisme beracara yang dibahas pada bab berikutnya.
Bab 6 menegaskan bahwa keberhasilan proses peradilan agama tidak hanya bergantung pada peran hakim semata, tetapi juga pada panitera, jurusita, dan seluruh kelengkapan persidangan yang bekerja secara terpadu. Hakim memang memiliki posisi sentral sebagai pemimpin sidang dan penegak hukum, namun panitera memegang kendali administrasi perkara mulai dari pencatatan, pengelolaan berkas, hingga pembuatan salinan resmi putusan, sedangkan jurusita berperan penting memastikan perintah pengadilan tersampaikan kepada pihak terkait serta melaksanakan tindakan eksekusi awal seperti penyitaan sesuai ketentuan hukum. Persyaratan yang ketat bagi ketiga unsur ini menunjukkan betapa profesionalitas, integritas, dan kompetensi mereka menjadi prasyarat mutlak untuk menjamin peradilan yang adil, cepat, dan berwibawa. Di sisi lain, kelengkapan unsur beracara dan protokoler persidangan, mulai dari tata ruang, atribut pakaian hingga simbol-simbol resmi, memperlihatkan identitas khas Pengadilan Agama yang menggabungkan nilai-nilai hukum nasional dan hukum Islam, sehingga menghadirkan suasana sidang yang tertib, bermartabat, dan mencerminkan karakter hukum acara peradilan agama itu sendiri.
Bab 7 menjelaskan gugatan sebagai pintu masuk perkara di Peradilan Agama; tanpa gugatan yang jelas dan memenuhi syarat, proses peradilan tidak dapat berjalan. Syarat formil dan materil gugatan yang rinci menunjukkan pentingnya ketelitian penyusunan gugatan agar tidak dinyatakan kabur (obscuur libel) atau tidak dapat diterima. Bentuk dan jenis gugatan yang beragam---tertulis, lisan, mandiri, bersama---memudahkan pencari keadilan menyesuaikan kondisi mereka. Penjelasan tentang jenis gugatan (cerai, nafkah, waris, wakaf, ekonomi syariah) menegaskan luasnya kewenangan Pengadilan Agama. Proses pemeriksaan gugatan, mulai dari pendaftaran hingga panggilan sidang, menekankan peran panitera, jurusita, dan hakim dalam menjaga tertib administrasi dan memberi kesempatan mediasi.
Bab 8 menunjukkan bahwa pendaftaran perkara di kepaniteraan merupakan pintu resmi dimulainya proses berperkara di Pengadilan Agama, sekaligus sarana pengendalian administrasi. Panitera berperan sentral dalam memeriksa kelengkapan, mencatat perkara, menentukan panjar biaya, dan menyiapkan perkara untuk diserahkan kepada majelis hakim. Pemanggilan para pihak oleh jurusita menjadi instrumen penting untuk menjamin asas kontradiktor dan hak pihak untuk hadir dan didengar dalam persidangan. Ketentuan teknis pendaftaran dan pemanggilan mencerminkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Bab 9 menggambarkan secara rinci tahap-tahap pemeriksaan perkara di sidang, mulai dari pembukaan hingga pengucapan putusan, sehingga pembaca memahami alur konkret beracara di Pengadilan Agama. Pemeriksaan perkara tidak hanya soal pembacaan gugatan dan jawaban, tetapi juga meliputi replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan musyawarah hakim sebelum putusan. Peran hakim sangat penting menjaga ketertiban, memberi kesempatan setara, dan mengupayakan perdamaian sesuai asas mediasi. Urutan ini menunjukkan penerapan asas-asas hukum acara Peradilan Agama yang sudah dipelajari pada bab sebelumnya, seperti asas sederhana, cepat, biaya ringan, terbuka untuk umum, dan kontradiktor.
Bab 10 menegaskan bahwa penyitaan memiliki kedudukan strategis dalam peradilan agama karena berhubungan langsung dengan pelaksanaan putusan. Tanpa penyitaan yang sah, putusan pengadilan berpotensi sulit dieksekusi. Oleh karena itu, integritas, profesionalisme jurusita, serta kepatuhan pada prosedur hukum sangat menentukan efektivitas penyitaan. Dengan demikian, bab ini memperlihatkan bagaimana mekanisme penyitaan menjadi instrumen penting untuk menjamin perlindungan hak-hak para pihak dan mewujudkan asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Bab 11 menjelaskan secara rinci tahapan setelah mediasi gagal hingga persidangan berjalan penuh. Tahap pertama adalah pembacaan gugatan oleh penggugat atau kuasanya sebagai dasar resmi persidangan. Setelah itu dilanjutkan dengan jawaban tergugat, termasuk bantahan materi gugatan, eksepsi (keberatan formil), rekonvensi (gugatan balik), atau intervensi pihak ketiga. Bab ini menekankan bahwa eksepsi harus diputus lebih dulu sebelum masuk pemeriksaan pokok perkara. Kemudian dijelaskan replik dan duplik---yakni saling tanggapan penggugat dan tergugat---sebelum pemeriksaan pembuktian. Bab ini juga membahas prinsip-prinsip penting dalam persidangan: keteraturan acara, kesesuaian dengan hukum acara, dan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab ini menyoroti kewajiban hakim mengendalikan jalannya sidang dan menghindari penyalahgunaan proses berperkara. Diuraikan pula pengaturan mengenai kehadiran para pihak, tata cara pengajuan bukti, dan kesempatan yang seimbang bagi kedua belah pihak untuk menyampaikan dalilnya.
Bab 12 menegaskan secara kuat bahwa pembuktian merupakan jantung atau inti dari seluruh proses persidangan perdata di Peradilan Agama. Tanpa pembuktian yang benar dan sah menurut hukum acara, sengketa tidak akan dapat diputuskan secara adil karena hakim tidak memiliki dasar fakta yang jelas untuk menegakkan hukum materiil. Bab ini menjelaskan bahwa pembuktian berfungsi sebagai jembatan antara tahap jawab-menjawab dan pengambilan putusan, sehingga seluruh argumentasi yang telah diajukan para pihak diuji kebenarannya melalui alat bukti yang sah. Di dalamnya dibahas secara sistematis siapa yang memikul beban pembuktian---bahwa pada dasarnya setiap orang yang mendalilkan suatu hak atau peristiwa wajib membuktikannya---serta bagaimana pembagian beban pembuktian dapat terjadi apabila dalil dan bantahan memiliki kualitas yang seimbang. Lebih jauh, Bab 12 menguraikan secara komprehensif jenis-jenis alat bukti yang diakui di Peradilan Agama, mulai dari bukti tulisan/akta autentik, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, hingga sumpah, lengkap dengan syarat formil, materiil, serta nilai kekuatan pembuktian masing-masing. Uraian ini memberi pemahaman kepada pembaca bahwa setiap alat bukti memiliki bobot yang berbeda: misalnya akta autentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna, saksi tunduk pada asas unus testis nullus testis, persangkaan merupakan kesimpulan logis hakim, pengakuan dapat mengakhiri sengketa, dan sumpah---baik pemutus, pelengkap, maupun sumpah jabatana memiliki prosedur ketat yang harus diikuti.
Bab 13 imembahas secara menyeluruh tentang putusan sebagai puncak proses beracara di Peradilan Agama. Dijelaskan bahwa putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara yang memuat pertimbangan hukum dan amar atau diktum yang mengikat para pihak. Bab ini menguraikan jenis-jenis putusan menurut sifat amar/diktumnya:
-- Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung unsur "menghukum" pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan bersifat eksekutabel;
-- Putusan declaratoir, yaitu putusan yang menyatakan suatu keadaan hukum (misalnya menyatakan sah atau tidak sahnya perkawinan) tanpa unsur penghukuman;
-- Putusan constitutif, yaitu putusan yang menciptakan keadaan hukum baru (misalnya menetapkan perceraian atau pembatalan perkawinan)
Bab ini juga menjelaskan amar putusan dan syarat formilnya, termasuk pentingnya penulisan pertimbangan hukum secara jelas agar putusan tidak cacat hukum. Diuraikan pula prosedur pelaksanaan putusan: dimulai dari pemenuhan secara sukarela yang dituangkan dalam berita acara dengan saksi dan tanda tangan jurusita, hingga bila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan, dilakukan eksekusi paksa di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama dengan bantuan jurusita dan aparat umum.
Bab 14 menegaskan bahwa sistem upaya hukum di Peradilan Agama merupakan mekanisme penting untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak para pihak. Melalui pembahasan verzet, banding, kasasi, peninjauan kembali, dan derden verzet, bab ini menunjukkan bagaimana setiap jenis upaya hukum memiliki syarat, tenggat waktu, serta prosedur yang berbeda sehingga tidak dapat diajukan sembarangan. Pemahaman yang benar atas mekanisme ini membantu hakim menyusun putusan yang kokoh, panitera memproses permohonan secara cermat, advokat menyusun strategi hukum tepat bagi kliennya, dan masyarakat memilih jalur hukum yang benar. Dengan demikian, upaya hukum menjadi sarana koreksi yang menjamin keadilan sekaligus memperkuat kredibilitas dan integritas Peradilan Agama.
Bab 15 memberikan pemahaman yang mendalam bahwa eksekusi merupakan implementasi nyata dari putusan hakim untuk memulihkan hak pihak yang dirugikan dan menjadi tahap penting dalam memastikan putusan pengadilan benar-benar bermanfaat bagi pencari keadilan. Eksekusi tidak sekadar prosedur administratif di akhir perkara, tetapi harus dilaksanakan sesuai mekanisme yang sah dimulai dari permohonan resmi, penetapan tertulis Ketua Pengadilan, pelaksanaan oleh panitera atau jurusita di bawah pengawasan hakim, hingga pencatatan berita acara secara benar---agar kepastian hukum, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi para pihak tetap terjaga. Bab ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan eksekusi sangat bergantung pada profesionalisme aparat peradilan dan pemahaman masyarakat terhadap prosedur yang ada. Dengan penjelasan rinci mengenai macam-macam eksekusi, pembaca memperoleh panduan jelas agar pelaksanaan putusan berjalan tertib, transparan, adil, dan menghadirkan keadilan substantif yang menjadi tujuan akhir proses peradilan.
Buku Hukum Acara Peradilan Agama karya M. Khoirur Rofiq memberikan inspirasi penting bagi mahasiswa dan praktisi hukum untuk memahami bahwa tegaknya keadilan tidak hanya ditentukan oleh materi hukum, tetapi juga oleh prosedur yang benar dan profesional. Melalui pembahasan teori yang sistematis dan contoh praktik nyata seperti surat gugatan, jawaban, dan berita acara persidangan, buku ini mengajarkan pembaca untuk mengintegrasikan ilmu dan keterampilan beracara secara seimbang. Penekanan pada asas, sejarah, sumber hukum, hingga mekanisme beracara di Pengadilan Agama membangkitkan kesadaran bahwa hukum acara bukan sekadar teknis, melainkan sarana menjamin kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia dalam sengketa perdata Islam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline