Lihat ke Halaman Asli

Hana Wandari

Universitas Islam Sultan Agung

Menjawab Rasa Keadilan di Tengah Masyarakat melalui Restorative Justice

Diperbarui: 28 Juli 2022   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

     Masih ingat sosok nenek Minah sang pencuri 3 kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan? Atau Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara karena mencuri 2 kayu jati milik perhutani untuk dijadikan sebagai dipan tempat tidurnya. Ironisnya, kasus tersebut adalah kasus yang kecil namun telah melukai hati bagi banyak orang dan tidak dikehendaki oleh rakyat. Sehingga berangkat dari banyaknya asumsi masyarakat yang menganggap bahwa hukum yang berlaku di Indonesia seringkali tumpul ke atas dan tajam ke bawah, maka sejak tahun 2020 lembaga hukum Kejaksaan melalui Kejaksaan Agung gencar melakukan penyelesian perkara melalui Restorative Justice.

     Singkatnya, Restorative Justice atau Keadilan Restoratif merupakan proses dimana para pihak yang terlibat dalam hal ini adalah korban dan pelaku tindak pidana bertemu untuk menyelesaikan perkara tersebut secara bersama -- sama dengan mengedepankan keadilan bagi para pihak. Proses perdamaian yang dilakukan oleh para pihak dalam Restorative Justice dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah mufakat, tanpa tekanan dan tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun. Penyelesaian perkara yang biasanya berfokus pada pemidanaan, dalam Restorative Justice justru lebih berfokus pada dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian suatu perkara pidana yang berkeadilan dan seimbang bagi para pihak. Keadilan Restoratif dianggap sebagai suatu alternatif untuk penyelesaian pidana ringan dan dianggap lebih berkeadilan bagi para pihak. 

     Sejalan dengan Pasal 139 KUHAP yang berbunyi "setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan" bahwa dalam hal ini kejaksaan pemilik asas dominus litis, dimana terkait dengan penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan, yakni kejaksaan. Hingga saat ini penerapan Restorative Justice  sudah diterapkan untuk menyelesaikan perkara pidana ringan, seperti pencurian ringan, penggelapan ringan, ataupun penipuan ringan. Sejauh ini sudah terdapat sekitar 1200 perkara yang diselesaikan melalui Restorative Justice.

     Salah satu kasus yang diselesaikan melalui Restorative Justice adalah pencurian kayu manis di hutan milik Perhutani yang terletak di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2021. Karena terkendala perekonomian akibat pandemi covid 19, Trimo yang biasanya menjual tanaman anggrek untuk menafkahi keluarganya harus rela melakukan pencurian kayu manis untuk menyambung kehidupannya. Dirinya diancam pidana maksimal 5 tahun serta denda maksimal Rp. 3,5 miliar. Namun, atas kebaikan hati nurani dari pihak perhutani maupun pihak kejaksaan, akhirnya kasus tersebut terselesaikan melalui Restorative Justice.

     Berdasarkan survei Penerapan Keadilan Restorative yang dilakukan oleh Litbang Kompas bahwa sebesar 83% Masyarakat Setuju dengan diterapkan nya praktek Restorative Justice. Meskipun timbul sebuah kekhawatiran publik, apakah nantinya tersangka akan mendapatkan efek jera atas perbuatan yang telah dilakukan, atau bahkan timbulnya potensi praktek korupsi baru pada organ kejaksaan. Untuk menjawab hal tersebut, Restorative Justice tidak hanya diberikan serta merta kepada tersangka, namun terdapat syarat terkait keadilan restoratif yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, adanya perdamaian antara korban dan pelaku, maksimal kerugian yang diderita adalah Rp. 2.5 juta, serta tindak pidana tersebut ancaman hukuman nya dibawah 5 tahun. Dimana dalam prakteknya pihak jaksa bukan hanya menilai berdasarkan duduk perkara nya saja, tetapi juga turun langsung untuk melakukan sebuah peninjauan  terhadap praktek yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dan untuk menghindari potensi praktek korupsi di kejaksaan, terkait dengan persetujuan penghentian suatu tindak pidana atau Restorative Justice ini bukan berada ditangan Kejaksaan Negeri ataupun Kejaksaan Tinggi namun berada di tangan Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline