Lihat ke Halaman Asli

Hamim Thohari Majdi

TERVERIFIKASI

Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

Tata Cara Mencatatkan Perkawinan Bagian 1

Diperbarui: 29 Januari 2023   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) tentang keharusan pencatatan perkawinan (sumber gambar : Hamim Thohari Majdi)

Amanah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah mencatatkan perkawinan. Namun tidak semua perkawinan bisa dicatatkan karena terlebih dahulu harus dilakukan sesuai dengan  hukum agama masing.

Sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 

Dalam pencatatan perkawinan terdapat dua lembaga pencatat yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagai pelaksanaannya menurut Agama Islam. Sedangkan pelaksanan perkawinan selain menurut agama Islam adalah catatan sipil.

PP 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1) mengatur pencatatan Perkawinan pelaksanaannya menurut hukum Islam ( sumber gambar : Hamim Thohari Majdi )

Pasal 2 ayat (1) Peaturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang pelasanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya belum menayatakan dengan tegas tentang Lembaga institusi pencatatan bagi yang pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama Islam. 

Untuk pencatatan dirujuk kembali dengan Undang-Undang nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penatatapan berlakunya Undang - Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946

Sekadar penyegarkan wawasan tentang Undang-Undang Nor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Latar belakang munculnya atau diterbitkannya Undang-Undang ini untuk memberikan perlakuan pencatatan Perkawinan merata di seluruh tanah air.

 Sebelum kemerdekaan pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggunakan peraturan  seperti yang termuat Huwelijksordonnantie S.1929Nomor 348 jo. S. 1931 Nomor 467. Vortenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 Nomor 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten  S.  1932 Nomor 482. 

Huwelijk adalah bahasa belanda yang artinya nikah atau Perkawinan, maka jelaslah bahwa peraturan pencatatan Perkawinan era Belanda atau pra Kemerdekaan. Sesuai dengan kondisi saat itu, maka pencatatan perkawinan tidak berlaku nasional, karena memang Indonesia belum terwujud sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia secara bebas karena belum merdeka, meski sudah ada sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 28 oktober 1928.

Dalam Howelijksordanantie memberikan celah dan kewenangan pencatatan perkawinan berbeda satu daerah dengan lainnya, begitu halnya dengan ongkos atau biaya pencatatannya. Karena dalam praktek pencatatan Perkawinan bersaran ongkos walau satu desa atau satu daerah berbeda berdasarkan kelas sosial dan tingkat sosial seseorang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline