Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Karena BTN, Bahagianya Jadi Pengantin Baru di Rumah Sendiri

Diperbarui: 1 Maret 2019   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersama BTN, generasi digital dan milenial bisa membeli rumah/foto: https://www.instagram.com/bankbtn/?hl=en

Benarkah generasi milenial dengan rentang usia 25 tahun sampai 35 tahun, sulit memiliki rumah sendiri?

Tidak sulit untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Bila kita masuk ke mesin pencari Google dan menuliskan kata milenial dan rumah, maka akan muncul beragam tautan berita yang menjelaskan betapa generasi milenial memang sebagian besar belum memiliki rumah.

Diantaranya berita tentang beberapa penyebab generasi milenial sulit memiliki rumah, hingga berbagai saran dari para pakar ekonomi dan keuangan bagi milenial bila ingin memiliki hunian.

Terkait hal ini, pada pertengahan tahun 2017 silam, Kompas.com pernah melakukan riset dengan melibatkan 300 responden generasi milenial yang tinggal di tujuh kota besar. Hasil dari riset tersebut, ternyata hanya 39 persen generasi milenial dengan rentang usia 25-35 tahun yang telah memiliki hunian.

Artinya, ada 61 persen yang belum punya tempat tinggal. Penyebabnya, meski kelompok usia ini secara finansial sudah cukup mapan, tetapi mereka lebih memilih menggunakannya untuk membeli ataupun mencicil kendaraan (sepeda motor) daripada membeli hunian seperti dikutip dari https://properti.kompas.com/read/2018/04/09/155858321/61-persen-milenial-belum-punya-rumah.

Cerita memilih rumah hingga program KPR bersama calon istri, akhirnya mantap memilih BTN karena punya banyak kelebihan 

Menurut saya, survei tersebut ada benarnya. Sebab, saya juga pernah berada pada situasi tersebut. Situasi ketika keinginan untuk membeli rumah bak peribahasa bagai pungguk merindukan bulan.

Dulu, di tahun-tahun awal bekerja dan berkeinginan memiliki rumah sendiri (sekira pada tahun 2006), ketika membaca beberapa brosur tentang properti, saya langsung angkat tangan saat mengetahui besaran uang muka yang disyaratkan. Saya merasa uang mukanya sangat tinggi dan tidak akan terjangkau oleh saya.

Baru di awal tahun 2009, ketika memiliki rencana menikah, saya mulai benar-benar serius mempertimbangkan untuk membeli rumah. Waktu itu, dengan berbekal jumlah saldo di tabungan sekitar Rp 30 juta, saya merasa sudah cukup untuk bisa membayar uang muka.

Bersama calon istri, saya rajin mendatangi pameran properti, lantas mengumpulkan beberapa brosur dari para developer yang menjadi peserta pameran. Berbekal informasi dari puluhan brosur tersebut, saya bersama calon istri lantas melakukan survei ke beberapa lokasi perumahan yang ditaksir. Lantas, mantap memilih lokasi yang benar-benar disenangi.

Apakah selesai di situ? Belum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline