Lihat ke Halaman Asli

Menolak Bersahabat dengan Alam?

Diperbarui: 29 Februari 2020   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Paresh

Hemat penulis, tulisan ini sebuah awal pemantik nalar pembaca dalam out word looking demi sebuah proyek kemaslahatan. Secara historis, perkembangan atau transisi zaman itu pasti membawa suatu perubahan yang signifikan, baik  dari sisi positif dan negatif. 

Dilansir dari buku terapi masnawi karya Prof. Dr. Nevzat Tarhan, ketika transisi dari zaman perburuan kepada zaman pertanian yang dimana itu berpengaruh besar kepada karakteristik sifat manusia.

Manusia yang awalnya menjunjung tinggi atau menganut paham individualisme dan segmental, lantas disunguhi keadaan sosial yang berbeda menjadi pertanian, karakteristik sifat manusia pun berubah signifikan menjadi menjunjung tinggi spirit kolaboratif, persatuan dan kesatuan, dilandasi dan disuguhi konteks sosial yang seperti itu —berubah menjadi pertanian, maka manusia kala itu tanpa dan belum terkontiminasi pemikiran ihwal dunia industri, manusia bersikeras untuk memakmuran keadaan ekosistem demi keberlangsungan hidupnya. 

Tidak ada suatu peristiwa dengan keadaan terhenti/stagnasi, oleh karna nya zaman terus dinamis dengan problematika yang disajikan nya, memasuki zaman revolusi industry abad 18, lantas hadir berbagai pertanyaan dan siasat didalam pikiran manusia, bagaimana bisa selalu mendapatkan lebih??, semua harus diperhitungkan, semua harus mempunyai nilai produksi dan lain sebagainya. 

Implikasi dunia industry dalam realitas itu berakibat fatal dalam sector ekologi, ketika dunia industry memproyeksikan realitas bumi yang akan datang, dunia industry telah mengeksploitasi ekosistem yang tersedia. Manusia menjadi acuh tak acuh akan keadaan lingungan sekitarnya atau pada bumi yang dipijakinya, padahal impikasi ekosistem—tumbuhan , oksigen , hewan, dan lain sebagainya, itu sangat vital, fatal dan total dalam realitas. 

Berbagai fenomena banyak terjadi akibat ulah manusia yang tidak memiliki rasa iba kepada bumi, sejalan dengan hal itu manusia tak lagi bersahabat dengan bumi, lalu siapakah sebenarnya yang memutuskan tali silaturahmi antara manusia dan bumi??

Teori Ekofeminisme memiliki pandangan bahwa kerusakan sumber daya alam pada dasarnya berakar dari tumbuh nya masyarakat yang kompetitif, akuisitif, dan eksploitatif sebagai akibat berkembangnya struktur patriaki yang bersifat represif, dominan dan senantiasa mengontrol. Berbagai fenomena bencana alam tidak serta merta terjadi secara alami begitu saja. 

Semua terjadinya bencana merupakan hasil dari serangkaian kausalitas yang terjadi didalamnya, sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam teori Fisika bahwa ketika terjadi suatu aksi disitu pula terjadi reaksi. 

Salah satunya yang cukup menonjol adalah karena kerusakan lingkungan dimana-mana. Banjir, longsor, polusi udara yang sudah sangat parah, dan populasi manusia yang semakin meningkat yang tidak dapat ditopang oleh kelestarian linkungan, merupakan fenomena yang barangkali menghampiri realitas kita dewasa ini. Semua ini disebabkan oleh perlakuan buruk manusia yang tidak ramah terhadap alam. 

Maraknya pembalakan liar (illegal logging), pembakaran hutan pembangunan gedung-gedung fisik yang tidak terstruktur, sistematis dan massif, pembangunan industry yang merajalela, penambangan illegal (illegal mining) besar-besaran yang tidak lagi memperhatikan dampak ekologis yang dimunculkan, serta perburuan dan pembunuhan berbagai satwa-satwa yang dilakukan secara sporadis dan membabi-buta. 

Fakta yang dapat disajikan, ketika terjadi kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Kota pekanbaru, Riau (selasa, 10 September 2019), dan kebakaran lahan gambut di Desa Penarikan Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau (minggu, 28 Juli 2019).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline