Kawasan Danau Toba dijadikan kunjungan wisata super prioritas. Semua aspek sedang dibenahi walaupun menimbulkan konflik lahan karena pendekatan pembangunan pemerintah hanya sesuai selera atau kepentingan orang tertentu. Pendekatan pembangunan wisata tidak berdasarkan teori pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Indonesia jelas meratifikasi konsep pembangunan yang dicanangkan PBB yaitu pembangunan berkelanjutan untuk menyelamatkan bumi. Pembangunan berorientasi proyek bukan demi masa depan rakyat, khususnya di kawasan Danau Toba. Orientasi proyek inilah yang sumber konflik.
Salah satu hal yang terpenting dalam pengembangan wisata adalah kenyamanan parawisata. Salah satu titik krusial dari pengembangan wisata adalah bidang transportasi. Pengelola transportasi dan sopir di lapangan dapat dipercaya para wisatawan. Pengalaman saya di Bandara Silangit adalah jadwal bis umum yang tidak jelas.
Saya pernah mencoba naik bis umum dari bandara Silangit hendak ke Pangururan. Sopir berjanji bahwa bis itu akan berangkat pukul 13.00 WIB, tetapi hingga pukul 14. 00 WIB bis itu belum berangkat. Saya menjadi rental mobil ke Pangururan karena mengejar acara kami pukul 15.00 WIB. Sangat kesal dengan kebohongan sopir itu. Sopir itu berjanji paling lambat berangkat pukul 13. 00 dan saya sudah bayar ongkos.
Saya dan istri berangkat dari Porsea hendak ke Kualanamu. Kami menumpang sebuah mobil yang penumpangnya 3 orang . Dari penumpang ada yang mengaku tiket pesawatnya pukul 15.00 WIB sementara kami di Siantar pukul 13.00.
Ketika makan di Siantar buru-buru hingga istri saya tergopohgopoh. Saya juga mendesak istri saya agar cepat menyelesaikan makan. Sopir itu ngebut sampai ke Kualanamu untuk mengejar pesawat pukul 15. WIB. Ternyata, ketika turun dari mobil penumpang itu tersenyum dan mengatakan kepada kami pesawat mereka pukul 17.00 WIB. Kesal sekali mendengarnya.
Pernah juga menumpang kendaraan dari Medan menuju Toba. Penumpang diantar ke rumahnya. Penumpang mengaku 3 KM dari jalan raya, faktanya sangat jauh dan jalan rusak pula. Rasaku hampir sama lamanya dari Siantar ke Toba dibandingkan dari simpang ke rumahnya. Kesal melihat penumpang seperti itu. Pengalaman buruk seperti itu membuat saya tidak mau naik mobil umum. Padahal, ingin sekali bercerita dengan banyak orang di mobil atau bis yang ada penumpang lain.
Dampak dari kebohongan dan ketidakpastian dunia transportasi kita membuat banyak penumpang mengambil jalan lain. Sejatinya rejeki rakyat yang didunia transportasi berpindah ke pengusaha yang elit. Para wisatawan lebih memilih kenyamanan. Mereka lebih baik membayar mahal asalkan aman dan nyaman. Dalam kondisi ini,wisatawan atau penumpang naik bis umum atau kendaraan umum karena keterpaksaan saja.
Di Sumatra Utara, khususnya yang bertujuan ke Kawasan Danau Toba sejatinya belajar dari pengelolaan transportasi di Jawa. Jika kita mau berangkat ke Cirebon, Kuningan, Bandung, Semarang, Salatiga sangat nyaman. Terlalu nyaman jika saya mau naik kendaraan umum ke Bandung.
Jika saya dari Medan hendak ke Toba, yang muncul adalah pusing. Pilihannya adalah rental mobil sendiri. Dalam dunia rental inipun, untung- untungan. Dalam telpon mobil bagus yang akan dikirim tetapi faktanya mobil butut. Harap-harap cemas mobil apa yang datang menjemput kita di penginapan.