Lihat ke Halaman Asli

Grace Paramitha

Communication Student

Mengupas Film Sang Penari Melalui Kehidupan Srintil Si Penari Ronggeng

Diperbarui: 31 Maret 2023   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Sang Penari| Dok Salto Film via dictio.id

Sang Penari (2011) menceritakan mengenai kehidupan seorang penari ronggeng yang ada di Dukuh Paruk bernama Srintil. Meskipun film ini sudah tayang 9 tahun yang lalu (terhitung hingga tahun 2020), namun film Sang Penari masih cocok untuk ditonton saat ini.

Fokus cerita yang berkisah mengenai kisah cinta Rasus dan Srintil dengan dibumbui berbagai cerita lainnya seperti kehidupan seorang penari ronggeng dan keadaan Indonesia pada tahun 1960-an membuat film ini semakin menarik untuk ditonton.

Implikasi Sosial

Srintil merupakan seorang perempuan yang sudah menyukai tari sejak kecil. Hingga akhirnya saat dewasa, ia berhasil menjadi satu-satunya penari ronggeng yang dimiliki oleh Dukuh Paruk, setelah penari ronggeng yang sebelumnya meninggal dunia.

Salah satu adegan dalam film Sang Penari| Dok Salto Film via cultura.id

Pada film Sang Penari, saat Srintil menjadi seorang calon penari ronggeng, ia harus mengikuti beberapa aturan atau tradisi demi bisa menjadi penari ronggeng sesungguhnya. 

Salah satu aturan atau tradisi yang ada adalah calon penari ronggeng harus melakukan bukak klambu. Bukak klambu berarti bahwa keperawanan si penari ronggeng akan diserahkan kepada laki-laki yang mampu memberikannya banyak uang. 

Selain itu, saat penari ronggeng sedang pentas biasanya akan ada pengibing dan pengibing yang memiliki uang paling banyak dapat berhubungan seksual dengan si penari ronggeng.

Sosok ronggeng yang ada dalam film Sang Penari dikhawatirkan akan membawa dampak bagi penonton dalam kehidupan nyata. Salah satu dampak yang signifikan adalah adanya persepsi negatif atas keberadaan penari ronggeng. Penari ronggeng dianggap sebagai perempuan tuna susila (Pudyadhita, 2018). 

Terdapat beberapa sentimen negatif di masyarakat mengenai ronggeng, contohnya seperti menganggap bahwa tarian ronggeng identik dengan praktik pelacuran terselubung (Pudyadhita, 2018). Praktik pelacuran dimulai ketika si penari ronggeng mulai menari dengan para pengibingnya (Pudyadhita, 2018).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline