Lihat ke Halaman Asli

Pada Akhirnya, Kita Pasti Sendirian

Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Orang yang Sedang Menikmati Kesendirian (Sumber foto: pexels.com/chama)

Ada satu kalimat yang sering kali kita hindari untuk diucapkan, meski diam-diam mungkin kita mengakuinya dalam hati: kita pasti sendirian.

Kalimat sederhana itu bukan sekadar nasihat muram yang diulang-ulang oleh filsuf atau penyair-penyair patah hati.

Ia adalah kenyataan yang menempel di setiap helaan napas manusia, menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan wujudnya secara terang benderang.

Kesendirian itu datang dalam banyak rupa. Ia tidak selalu menunggu kita sudah terbaring di liang lahat, ketika semua doa selesai dibacakan dan tanah merah menutup tubuh.

Sendiri itu kadang menyapa jauh lebih awal; mungkin di tengah keramaian pesta, saat orang lain tertawa riang tapi kita berpura-pura ikut menikmati suasananya.

Atau di ruang rapat, saat semua percakapan hanya tentang target, laporan, dan angka-angka, sementara hati kita penuh tanya yang tak pernah punya tempat untuk menumpahkannya.

Tapi orang-orang sering kali lupa, kesendirian sebenarnya bukanlah sebuah kutukan. Ia adalah keniscayaan. Sama halnya dengan rasa lapar, haus, dan mati.

Bedanya, kesendirian tidak selalu bisa kita akui dengan gamblang. Kita lebih suka menyebutnya dengan istilah-istilah lain. "me time", "butuh ruang", atau bahkan "healing", kata-kata itu tentu tidak asing, kan?

Mungkin saat kita mengucapkannya tidak pernah terpikirkan apapun. Tetapi, jika kita mau mencerna lebih dalam lagi, bukankah itu adalah istilah lain untuk sendirian?

Sebuah Privilege Bernama Keramaian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline