Ada satu kalimat yang sering kali kita hindari untuk diucapkan, meski diam-diam mungkin kita mengakuinya dalam hati: kita pasti sendirian.
Kalimat sederhana itu bukan sekadar nasihat muram yang diulang-ulang oleh filsuf atau penyair-penyair patah hati.
Ia adalah kenyataan yang menempel di setiap helaan napas manusia, menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan wujudnya secara terang benderang.
Kesendirian itu datang dalam banyak rupa. Ia tidak selalu menunggu kita sudah terbaring di liang lahat, ketika semua doa selesai dibacakan dan tanah merah menutup tubuh.
Sendiri itu kadang menyapa jauh lebih awal; mungkin di tengah keramaian pesta, saat orang lain tertawa riang tapi kita berpura-pura ikut menikmati suasananya.
Atau di ruang rapat, saat semua percakapan hanya tentang target, laporan, dan angka-angka, sementara hati kita penuh tanya yang tak pernah punya tempat untuk menumpahkannya.
Tapi orang-orang sering kali lupa, kesendirian sebenarnya bukanlah sebuah kutukan. Ia adalah keniscayaan. Sama halnya dengan rasa lapar, haus, dan mati.
Bedanya, kesendirian tidak selalu bisa kita akui dengan gamblang. Kita lebih suka menyebutnya dengan istilah-istilah lain. "me time", "butuh ruang", atau bahkan "healing", kata-kata itu tentu tidak asing, kan?
Mungkin saat kita mengucapkannya tidak pernah terpikirkan apapun. Tetapi, jika kita mau mencerna lebih dalam lagi, bukankah itu adalah istilah lain untuk sendirian?
Sebuah Privilege Bernama Keramaian