Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Sudahlah, Tidak Usah Ada PR

Diperbarui: 22 Juli 2018   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Young Boys at Desk - ilustrasi: familyeducation.com

Saya pribadi sering berpesan pada siswa jika bertanya ada PR atau tidak? Saya hanya bilang...

"No. Just enjoy your life."

Saya bukan memprovokasi bagi guru/orang tua yang pro PR. Tetapi bagi seorang guru, saya pribadi dalam hal ini, PR memberatkan. Baik dari segi mental dan fisik. Dan dalam hal ini, dialami oleh guru maupun siswa.

Pertama mental burden seorang siswa/mahasiswa dalam durasi belajar mereka. Sudah seharian mendengar/mengerjakan soal/diskusi di kelas. Di rumah/tempat menetap, siswa masih diminta (dipaksa) belajar. Bagi siswa SMP/SMA bisa jadi hal ini membuat jenuh. Bagi mahasiswa, kadang membuat mereka lunglai. Karena merasa kuliah sama saja dengan masa sekolah SMP/SMA dulu. Melelahkan.

Bagi guru, memberi PR pun sebuah mental burden. Membayangkan memeriksa 40 PR siswa seusai kelas sudah letih pikiran. Membawa PR siswa ke rumah pun kadang bukan solusi. Belum lagi melihat "pola" PR siswa/mahasiswa yang serupa tapi tak sama. Siswa sekarang sudah pintar membuat PR KaWe. Meneliti kemiripan PR dari 20 orang siswa saja bisa buat senewen. Pun mencari siswa si "sumber" contekan seperti mencari jarum dalam sekam.

Kedua, mengerjakan PR pun membuat siswa letih secara fisik. Menurut riset, otak kita menghabiskan 20% energi tubuh. Saat seharian sekolah saja bisa menghabiskan lebih dari 20% energi tubuh. Siswa di rumah masih diminta menghabiskan 20% lagi mengerjakan PR. Di penghujung malam, siswa sudah lelah. Mungkin bangun pagi dengan sisa 5% PR pemahaman dari yang dikerjakan malam tadi.

Buat guru, secara fisik juga terkuras paska siswa mengumpulkan PR mereka. Memeriksa PR mengarang siswa yang asal panjang dapat nilai bagus itu menyalahi kata hati. Apalagi memeriksa satu-satu rumus fisika siswa yang hasilnya sama tapi prosedurnya berbeda. Teledor memeriksa PR siswa dengan alasan lelah dan gaji sedikit pun bukan alasan rasional salah menilai.

Dari kedua beban yang dialami guru dan siswa pasti ada yang tidak setuju. Pertama, karena PR mengkondisikan siswa untuk terus belajar. Dan hei, apakah siswa harus melulu belajar formal di luar sekolah? Ajarilah anak SMP memasak rendang atau menjual pecel ibu di warung. Siapa tahu nanti bisa menjadi bekalnya menjadi pengusaha. Soft skill siswa kadang lebih berguna dari pendidikan formal.

Kedua, PR menjadi indikator kepahaman siswa. Sejauh saya tahu, sudah banyak indikator yang dijadikan parameter keberhasilan belajar. Dan PR hanya sepersekian saja. Jangan sampai nilai PR diakali guru demi mendongkrak portofolio mereka. Bisa jadi indikator PR pun "menyesatkan". Bagaimana jika PR siswa dikerjakan orang tua/temannya yang lebih pintar.

Pada akhirnya, coba sejenak kita resapi abreviasi kata PR, Pekerjaan Rumah. Makna literalnya, pekerjaan yang berada di rumah. Entah mengapa dimaknai pekerjaan sekolah yang dikerjakan di rumah. Jadi, siswa diminta mengerjakan Pekerjaan Rumah

Apa saja PR itu? Banyak. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan motor/mobil. Soft skills hidup yang menjadikan anak manusia seutuhnya. Masa anak harus selalu tergantung orang lain mengerjakan semua itu? Mungkin jika anak orang kaya tujuh turunan delapan tanjakan tidak masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline