Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Mengurai Dilema Anak SD Naik Motor ke Sekolah

Diperbarui: 25 Juli 2016   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkejut sekaligus banyak berpikir menyaksikan anak SDN 1 Bendoroto, Trenggalek mengendarai motor ke sekolah. Bukan cuma 1-2 murid, banyak siswa SD ini memakai motor. Persis seperti apa yang saya tahu di parkiran kampus. Hampir semua mengendarai motor. Dan yang membuat saya bertanya-tanya sepertinya pihak sekolah mengijinkan siswanya mengendarai motor. Dan tentu dengan dasar akomodasi dan akses yang sulit menuju sekolah. Sedang media dan netizen lebih banyak nyinyir akan hal ini.

Saya pikir hal ini sudah terjadi lama. Selama akses jalan dan transportasi di desa kaki gunung sangat minim, fenomena ini tidak cuma terjadi di desa Bendoroto Trenggalek saja. Motor menjadi moda transportasi praktis. Walau saya pun yakin, orangtua siswa SD ini tidak akan tega membiarkan anaknya mengendarai motor sendiri. Namun bagai dilema, fenomena ini nampaknya dibungkus dengan alasan valid agar menjadi legitimasi.

Akses jalan dan transport terbatas menjadi general rationale dalam hal ini. Alasan valid lain adalah kasih orangtua yang tidak ingin anaknya terlihat susah. Tidak ingin bagi orangtua melihat anaknya berjalan sekian kilometer untuk bersekolah. Dengan kata lain, tidak ingin anaknya menderita serupa orangtuanya dulu. Orangtua punya uang dan pekerjaan. Mengapa tidak membeli motor untuk anaknya. Walau sadar mereka masih belia usianya.

Dan mungkin alasan yang divalidkan secara sosial adalah gengsi. Baik gengsi yang muncul antar orangtua siswa SD. Maupun antar siswa SD itu sendiri. Ada saja orangtua yang ingin anaknya terlihat kaya dan wah dengan mengendarai motor. Tak ayal, orangtua lain tak ingin terlihat susah dan dianggap miskin jika anaknya tidak naik motor. 

Begitupun di obrolan anak-anak SD itu sendiri. Seorang siswa SD akan sudah mengenal status ekonomi dari apa yang mereka miliki. Bukankah hal ini yang TV dan lingkungan banyak ajarkan. Siswa dengan motor akan lebih dianggap 'tinggi dan berbeda' dibanding temannya yang sekadar naik sepeda atau jalan kaki. Anda bisa hitung sendiri lebih mahal motor daripada sepeda. Dan saya yakin anak SD jaman sekarang pun faham tentang ini.

Beda Perspektif Bukan Berarti Menjatuhkan, tapi untuk Membangun

Media, netizen dan pihak-pihak terkait pun menyayangkan fenomena ini. Bahkan banyak juga yang nyinyir bukan main melihat anak SD pulang-pergi sekolah naik motor. Mereka gemas. Belum dewasa tapi sudah naik motor. Mereka tentunya lebih sembrono dalam berkendara. Dan tidak mungkin ada SIM untuk anak SD. Mereka pun marah. Banyak menyalahkan orangtua siswa yang memberi motor. Ada yang memberi saran agar diantar. Ada juga yang meminta pihak Polantas menertibkan dan memberi hukuman. 

Namun percayalah, fenomena ini tidak semudah orang kota memandangnya. Orang kota mungkin mudah memberikan saran dan solusi. Ada yang minta saran untuk anaknya dijemput dengan jemputan sekolah. Atau memberi solusi agar pulang dengan ibu A atau B atau C yang kebetulan satu tujuan dan arah. Saya pun yakin ada siswa SD/SMP yang mencuri-curi kesempatan pergi ke sekolah dengan motor. Walau tidak memakai jalan raya/utama, ada saja yang pintar menggunakan jalan alternatif.

Art Mothers Children Artist Kathe Kollwitz - ilustrasi: pinterest.com

Ada tiga hal yang bisa memberi solusi dalam sengkarut dilema ini.

Pertama, orangtua harus paham betapa berkendara di usia dini sangat berbahaya. Dan sejauh atau seterpencil apapun daerah, anak harus tetap didampingi orangtuanya ke sekolah. Sesibuk apapun orangtuanya, masih ada solusi untuk mengantar anak. Misalnya, pihak sekolah dan orangtua harus urun rembug membhasa keterbatasan akses dan akomodasi yang mereka punya. Saya kira sekolah bisa membuat jemputan untuk anak-anak ini. Uangnya didapat dari iuran atau uang urunan dari orangtua siswa. Orangtua siswa mampu membeli atau mencicil motor. Kenapa tidak iuran membeli mobil jemputan sekolah yang sederhana saja.

Kedua, sekolah dan pihak terkait memberi penyuluhan dan penjelasan akan bahaya berkendara di usia SD. Tentunya, dengan diskusi formal dan kekeluargaan orangtua siswa dan pihak sekolah bisa diberi pemahaman. Dampak buruk dari usia SD dengan pribadi yang cenderung kekanakan tidak tepat berkendara motor. Motor hanya untuk orang dewasa dengan kedewasaan berfikirnya. Jika pun mungkin, ada hukuman bagi siswa yang masih ngeyel berkendara motor ke sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline