Pendidikan gratis memang penting, tapi benarkah itu cukup untuk menjawab persoalan ketimpangan yang telah menahun?
Ketika pemerintah mengumumkan rencana penambahan anggaran sebesar Rp71,1 triliun untuk memperluas program sekolah gratis bagi anak-anak Indonesia, banyak orang menyambutnya sebagai langkah berani dan menjanjikan. Tapi sebagai seseorang yang berasal dari Indonesia Timur dan kini tinggal di Solo, saya merasa perlu mengajukan pertanyaan penting: apakah program ini sungguh menyentuh anak-anak di tempat saya berasal?
Saya tumbuh dalam lingkungan di mana sekolah tidak pernah benar-benar mudah diakses. Jarak jauh, fasilitas seadanya, dan guru yang terbatas adalah realitas harian pendidikan di daerah kami. Ketika kata "gratis" muncul dalam wacana nasional, yang saya bayangkan bukan hanya pembebasan biaya SPP, tapi harapan agar kesenjangan pendidikan bisa benar-benar dijembatani. Sayangnya, harapan itu belum seutuhnya menjelma menjadi kenyataan.
Pendidikan Gratis: Solusi Parsial untuk Masalah Sistemik
Pendidikan gratis tentu penting. Tapi perlu diingat: pendidikan yang bermakna tidak hanya soal uang sekolah yang dihapus. Di banyak daerah timur Indonesia, masalah pendidikan jauh lebih kompleks. Infrastruktur menuju sekolah rusak. Ruang kelas minim. Buku tak tersedia. Guru pun, sering kali rangkap tugas karena jumlah tenaga pengajar sangat terbatas.
Saya pernah menyaksikan langsung bagaimana seorang guru harus mengajar tiga kelas sekaligus di satu ruangan. Murid-murid duduk berdesakan, dengan papan tulis yang mulai memudar dan langit-langit yang bocor. Dalam kondisi seperti itu, sekolah gratis tak berarti banyak.
Kontras Jawa dan Timur: Dua Dunia dalam Satu Negara
Tinggal di Solo Jawa Tengah membuat saya sadar betapa besar ketimpangan pendidikan di negeri ini. Anak-anak di sini punya akses perpustakaan, fasilitas digital, dan guru yang rutin ikut pelatihan. Di sisi lain, anak-anak di kampung asal saya masih harus berjalan kaki jauh setiap hari, tanpa tahu apakah hari itu ada guru yang hadir.
Ironisnya, mereka semua adalah anak-anak Indonesia, sama-sama dijanjikan hak atas pendidikan oleh konstitusi. Tapi kenyataannya, akses dan mutu pendidikan masih sangat ditentukan oleh di mana seseorang lahir dan tinggal.
Sekolah Swasta: Penopang Saat Negara Tak Sempat Menoleh