Lihat ke Halaman Asli

Tantangan Besar di Dua Tahun ke Depan Bagi Pasar Pinjaman P2P

Diperbarui: 30 Juli 2017   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Thierry Sanders, CEO PT Sampoerna Wirausaha (Mekar.id)

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun! Pasar pinjaman peer-to-peer (P2P) di Indonesia kini menginjak usia satu tahun. Ya, pasar pinjaman peer-to-peer lahir pada tahun 2016 dan perusahaan-perusahaan P2P yang masih balita ini telah membantu masyarakat mendapatkan Rp 275 miliar dalam bentuk pinjaman yang dikucurkan oleh para pemberi pinjaman secara online.

Ini adalah sebuah pencapaian besar, seperti balita yang baru merangkak lalu berjalan. Tapi, saat anak bayi mulai melangkah untuk pertama kalinya, besar kemungkinan dia akan terjatuh. Inilah yang ingin saya soroti dalam tulisan ini.

Pinjaman peer-to-peer (bayangkan seseorang memberi pinjaman ke seorang lainnya melalui perantara sebuah website) bukanlah hal yang baru di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Platform-platform pinjaman P2P tertua di kedua negara tersebut saat ini telah berumur 12 tahun. Dikenal dengan sebutan P2P lending atau crowdfunding (urun dana), platform-platform online ini pada dasarnya adalah sebuah website di mana peminjam bisa mendapatkan pendanaan atau pinjaman secara langsung dari pemberi pinjaman.

Di tahun 2016, lahir enam platform pinjaman P2P di Indonesia. Dimulai dari yang terbesar, mereka adalah: Modalku, Investree, Amartha, Mekar, Koinworks dan Crowdo. Kesemuanya menawarkan pendanaan untuk usaha kecil. Ini sesuatu yang unik, karena di banyak negara lain, pemain di industri ini biasanya menawarkan pinjaman pribadi dan bukannya pinjaman modal usaha. Di Indonesia, Uangteman.com adalah pemain terbesar yang menawarkan pinjaman pribadi, tetapi mereka merogoh kocek sendiri untuk mendanai pinjamannya dan tidak menjalankan sistem P2P.

Orang tua biasanya mulai khawatir saat bayinya berusia satu tahun dan mulai melangkah untuk pertama kalinya. Indonesia juga begitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya berpikir sudah saatnya mengatur sektor ini. Di akhir tahun 2016, OJK menelurkan regulasi FinTech yang mengatur pemberi pinjaman P2P. Layaknya orang tua yang baru memiliki anak, OJK juga terkesan masih menjajaki cara meregulasi yang tepat. Biasanya orang tua lebih keras pada anak pertama dibanding anak kedua, karena mereka tidak tahu hal-hal apa saja yang harus mereka awasi dari anaknya.

Namun sebenarnya Indonesia bisa belajar dari pasar pinjaman P2P yang lebih besar, seperti di Cina, atau yang lebih tua, seperti di Amerika Serikat, sehingga kita bisa mengetahui hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan di sektor ini.

Bulan lalu, regulator di Cina, dipimpin oleh Beijing Bureau for Financial Work, menerbitkan laporan yang mengejutkan. Cina saat ini memiliki 4.856 perusahaan pinjaman P2P yang secara keseluruhan telah mengucurkan pinjaman sebesar US$ 116 miliar. Namun, laporan tersebut memperkirakan bahwa pada akhir tahun ini, sembilan dari sepuluh platform P2P di negara itu akan mengalami kegagalan ataupun dipaksa untuk gulung tikar oleh para pembuat kebijakan. Itu berarti sekitar 4.400 perusahaan akan tutup atau dijual ke perusahaan lain. Di akhir 2015, Ezubao, yang tadinya adalah salah satu perusahaan pinjaman P2P terbesar di Cina, menipu 1 juta nasabahnya dan menggelapkan dana sekitar US$ 14,5 miliar.

Dengan jatuhnya Ezubao, bisa dipastikan bahwa tiga platform pinjaman P2P terbesar di Cina, Lufax, CreditEase dan Diangrong akan berusaha memperluas pasar, tapi tidak hanya di Cina. Mereka akan harus melakukan diversifikasi sampai ke luar Cina agar dapat bertahan di tengah turunnya tingkat kepercayaan domestik. Mereka mungkin akan datang ke Indonesia pada tahun 2018 mendatang. Ini bisa berarti tantangan atau kesempatan tidak hanya bagi perusahaan-perusahaan pinjaman P2P di Indonesia, tapi juga bagi bank-bank yang tidak siap bersaing di ranah digital.

Tidak bisa dipungkiri, kontrol dan regulasi memang diperlukan untuk sektor ini di Indonesia, dan OJK mengeluarkan peraturannya di saat yang tepat.

Jadi apa saja pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman di Cina dan Amerika Serikat? Berikut saya jabarkan beberapa tantangan yang dihadapi pasar pinjaman P2P di Indonesia supaya kita bisa melindungi nasabah dan investor kita agar tak kehilangan uang mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline