Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Lebaran Sahir

Diperbarui: 20 Juni 2017   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada ramadan ini, meski cuaca begitu terik, semangat Sahir tidak pernah kendur menggores bait-bait pahala ke dalam catatannya. Di bulan yang sakral ini, ia menapaki hari demi hari penuh perjuangan, menuruti pesan yang disampaikan Ibunya saat usianya sepuluh tahun dulu: jangan mengaku paling dekat denganNya, jika tidak berhasil memeras saripati ramadan, dan menenggaknya amblas. Sebelum akhirnya sang Ibu pun direngkuh ke pangkuanNya. Meninggalkan segudang pesan yang senantiasa diamalkannya. Sedangkan Ayahnya lebih dulu pamit.

Sejak hari pertama puasa, selain kesulitan membiasakan diri dengan permainan, Matahari turut serta menambah siksaan dengan bantuan langit tanpa berlapiskan awan. Seolah menunjukkan betapa semrautnya dosa-dosa manusia yang harus dibakar.

Cahaya matahari terus menghujam. Tanpa ampun mereduksi cairan yang diisi pada saat santap sahur dan sebagian waktu di malam hari. Hingga membuat sekujur tubuh dihinggapi gerah yang tiada tara. Tajam. Menyengat, panas.

Meski begitu, dengan pengamalan ibadah yang kental, Sahir selalu pergi sekolah. Jarak kampung ke sekolah yang terbentang hingga puluhan kilometer, berhasil menjadikan sebagian temannya jadi pecundang ilmu—bolos sekolah—dan pemurtad ibadah—tidak puasa. Tidak kuat jalan kaki, pulang pergi sekolah jadi alasannya.

“Musim panas begini. Kalau gak kuat, tidak usah sekolah.” Di suatu pagi Neneknya memberi usul. Kakeknya juga mengamini.

“Saya kuat Nen*.” Ia menepis usulan Neneknya. Yang tentu saja menurutnya salah. Setelah memberi salam ia berangkat, seperti biasa penuh semangat.

Baginya ilmu adalah jembatan menuju kemudahan. Maka, ia harus tetap menggali ilmu pada tempatnya, sekolah. Karena di kemudian masa, ia tidak mau hidupnya diperkosa kesulitan. Melainkan ia berharap, dengan cahaya benderang ilmu, kelak hidupnya akan selalu bersenggama dengan kemudahan. Begitu, yakinnya.

Rerata atap rumah warga terbuat dari seng bergelombang yang berbahan baja tipis, membuat berdiam didalamnya bukan suatu pilihan, pengap. Selain itu demi pemenuhan tradisi keliru tentang siapa pun harus bahagia di hari fitri, jadi penguat sudah jarang manusia tenggelam dalam lantunan ayat Ilahi, apalagi sekedar berdiam diri atau berlindung. Mustahil. Sebab itu, banyak juga iman manusia dewasa bertumbangan.

“Bagaimana mau puasa, hasil kebun murah semua. Baju anak-istri pun belum ada.”

Pernyataan dari Pak Odon, petani Cabai yang sedang panen raya dan kesulitan memikirkan timbunan hutang modal kebunnya. Selain beberapa bapak-bapak di Poskamling sore itu mengeleng-gelengkan kepala, ada juga yang mengangguk-anggukkan kepala menanggapi pengakuan Pak Odon, malah jumlahnya lebih banyak.

Ditengah terik terus memangsa, di situ pula harus mengais bulir demi bulir rizeki di pematang kebun dan hamparan sawah, siapa yang tahan berpuasa; tenta saja mereka yang kebal iman semata—salah satunya Sahir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline