Lihat ke Halaman Asli

Gatot Swandito

Gatot Swandito

Penolak Quick Count Pilpres 2019 Buta Masa Lalu dan Hukum

Diperbarui: 21 April 2019   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi Tempo.co

Hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2019 sudah hampir final. Sejumlah lembaga survey tanah air telah memproses lebih dari 90 persen data yang diterimanya. Litbang Kompas, misalnya, sudah merilis 99.95 persen data yang diprosesnya. 

Hasilnya, Jokowi-Amin Ma'ruf berhasil meraih 54,43 persen suara, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya mampu meraup 45,57 persen suara. Hasil hitung cepat versi Litbang Kompas ini bisa dibilang sebelas-dua belas dengan hasil quick count sejumlah lembaga survey lainnya.

Karuan saja, rilis hitung cepat yang menempatkan pasangan nomor urut 01 sebagai pemenang Pilpres 2019 tersebut membuat berang kubu lawannya. Ujung-ujungnya, Koalisi Aktivis Masyarakat Anti Korupsi & Hoaks (KAMAKH) melaporkan enam lembaga survei yang merilis quick count hasil Pilpres 2019 ke Bareskrim Polri. Keenamnya adalah Indo Barometer, CSIS, Charta Politika, Poltracking, SMRC dan LSI Denny JA.

Alasannya, menurut KAMAKH, keenam lembaga survey tersebut diduga melakukan tindak pidana kebohongan publik dan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kisruh hasil survey, termasuk rilis quick count, sebenarnya sudah terjadi sejak Pemilu 2009.  Ketika itu quick count sudah  ditayangkan TV One pada pukul 10.45 WIB atau pukul 12.45 WIT. Sementara, di waktu hampir bersamaan, Metro TV menyiarkan exit poll.

Tapi, tayangan di kedua stasiun berita tersebut kemudian dihentikan sekitar pukul 11.15 WIB atau hanya beberapa menit setelah penayangannya. Penghentian itu dilakukansetelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta agar stasiun televise menunda penayangannya tujuannya agar opini publik tidak terpengaruhi.

Permintaan penghentian oleh KPU tersebut tersebut dilayangkan setelah tayangan quick count dan exit poll tersebut dikecam banyak pihak. Seniman Sujiwo Tejo yang menjadi narasumber di acara itu menyatakan bahwa lebih banyak bebek dibandingkan elang. Jadi dikhawatirkan quick count akan mempengaruhi perilaku pemilih yang hendak mencontreng alias jadi membebek.

Prabowo Subianto yang ketika itu maju sebagai cawapres pendamping capres Megawati Soekarnoputri menyebut hasil quick count tidak valid dan tidak bisa dijadikan acuan hasil pilpres.

"Hasil quick count itu tidak valid. Semua saksi agar tidak terpengaruh pembentukan opini secara dini. Baru satu jam sudah ada yang menang, ini skenario untuk menyesatkan Pemilu. Kami menyayangkan stasiun TV yang berpihak. Kami mengingatkan pada para pemilik stasiun TV hal ini tidak bertanggung jawab," kecam Prabowo (Sumber).

Tayangan hitung cepat selagi waktu pencoblosan masih berlangsung memang merupakan bentuk kejahatan besar dalam demokrasi. Sebab, tayangan tersebut bisa diartikan sebagai propaganda kepada calon pemilih yang belum nyoblos.

Bentuk propaganda tersebut terkait erat dengan kampanye "Pilpres Satu Putaran Saja" yang digelar digelar CEO Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA beberapa bulan sebelum hari H Pilpres 2019.

"Pilpres Satu Putaran Saja" lewat aneka aneka media, seperti koran, TV, dan radio, ditambah lagi dengan spanduk, poster dan stiker jelas merupakan bentuk kampanye untuk memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline