Lihat ke Halaman Asli

Yudel Neno

Penenun Huruf

Boleh-boleh Saja Dekat dengan Cucu, Nggak Dilarang kan?

Diperbarui: 15 Februari 2019   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seusai Jan Ethes (cucu Jokowi) ditampilkan begitu akrabnya dengan Jokowi, pihak oposisi bak kebakaran jenggot. Pikir mereka (tafsir saya), si cilik itu dilibatkan dalam kampanye politik.

"Ini Jan Ethes yg pernah sebut @jokowi, kakeknya, sbg "Artis" ya? Tapi bgmn kalau ini jadi legitimasi pelibatan anak2 dlm kampanye? Bgmn @bawaslu_RI masih bisa berlaku adil kah?" tulisnya. (cuplikan dari artikel Hidayat Nur Wahid Tuding Jokowi Libatkan Jan Ethes di dalam Kampanye di tribunjateng.com).

Menyikapi nyinyir publik khususnya pihak oposisi, hemat saya Jokowi memperlihatkan sikap yang cukup bijak "Dekat dengan cucu, dekat dengan anak, biasa-biasa saja. Normal-normal saja seperti keluarga yang lain. Masa gak boleh?" ujar Jokowi.

Tentu publik dapat menilai. Apa benar, aksi manja si cilik Jan Ethes itu, bermotif politis atau tidak. Menurut saya, tidaklah demikian. Politik tidak perlu diperlakukan dengan cara pandang yang terlampau remah-remah.

Aksi pingin cium, pingin cubit dari Jan Ethes merupakan aksi yang biasa sebagaimana sikap seorang cucu ketika mendekati kakeknya. Pihak oposisi tak perlu cemas kalau tindakan Jan Ethes ini dinilai berdampak pada menurunnya elektabilitas pihak oposisi.

Masa nggak boleh kalau seorang ngerengek pingin dekati kakeknya. Yang benar saja, penilaiannya. Nggak perlu berandai-andai di kala suksesi menuntut percermatan visi-misi.

Aksi Jan Ethes mendekati Jokowi mesti dipandang dalam perspektif kekeluargaan sebagai kontribusi untuk para politisi bahwa menjadi pemimpin itu berarti menghargai kepolosan rakyat.

Perang opini, perang ideologi boleh-boleh saja tetapi paradigma kritis tidak perlu direndahkan dengan cara membesarkan hal-hal yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Dalam logika berpikir, pengandaian memang diperlukan tetapi karena pengandaian itu dipakai dalam kerangka logika, maka hukum logika tetap menegaskan kelurusan berpikir dan kebenaran faktual.

Politisi bisa pandai berandai-andai tetapi nasib rakyat jangan digantung pada pengandaian-pengandaian. Pengandaian yang menuai begitu banyak penolakan publik, rujukan kebenarannya dipertanyakan. Apa betul politik ini soal berandai-andai, sehingga menjadi politisi berarti harus pandai berandai-andai? Saya kira tidaklah demikian.

Sumber :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline