Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Suni

Content Creator Tafenpah

Cocoklogi Perjodohan Zaman Patriarki dan Akibatnya bagi Psikologis Anak

Diperbarui: 22 Mei 2021   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cocologi perjodohan.Viva.co.id

Jodohku adalah masa depanku. Mengingkari cocoklogi perjodohan, bukan berarti tidak menghargai orangtua dan kebudayaan leluhur, melainkan masa depanku adalah jalan hidupku.

Cocoklogi adalah istilah yang lazim dipakai oleh dunia humaniora, khususnya mereka yang mendagu agamis untuk melakukan prediksi tentang sesuatu yang indah di masa yang akan datang.

Cocoklogi perjodohan adalah kolaborasi diksi yang sangat renyah dan gurih bagi nenek moyang kita untuk saling menjodohkan anaknya.

Perjodohan anak adalah bisnis yang sangat menjanjikan bagi keluarga besar laki-laki dan perempuan. Jika keluarga laki-laki berasal dari pengusaha, tentu orangtuanya pun akan mencari perempuan yang sepadan dengan status keluarganya. Maka terciptakan perjanjian.

Perjanjian kedua orangtua dari pihak laki-laki dan perempuan terkadang membawa masalah yang lebih rumit bagi anak-anak mereka. Bayangkan laki-laki dan perempuan yang belum pernah berjumpa dan tidak saling mencintai dipaksa oleh orangtua mereka untuk menikah. Apa yang akan terjadi?

Yang terjadi adalah pengaburan arti cinta. Cinta itu berasal dari Sang Pencita yang termanifestasi dalam rupa hasrat untuk memiliki. Akan tetapi, hasrat untuk memiliki pun harus dilandaskan pada penerimaan dari kedua belah pihak.

Katakan pihak laki-laki sangat mencintai anak gadis dari pihak perempuan, tetapi si perempuan tidak menaruh secuil pun rasa kepada laki-laki yang dijodohkan, tentunya si perempuan akan memberontak. Namun, karena diberi pilihan oleh orangtuanya, si perempuan akan terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya.

Meskipun perempuan tidak kasat mata mengungkapkan penolakannya kepada orangtua, namun dalam hati ia sangat tersiksa. Begitupun dengan laki-laki.

Pernikahan itu adalah pilihan bebas. Kebebasan yang dibalut dengan tanggung jawab. Sebelum membawa bahtera rumah tangga, tentunya kedua pihak harus menerima satu sama lain. Tujuannya adalah perjalanan mereka dalam membangun hingga mengepakan sayap pernikahan mereka menuju tahun-tahun yang panjang tetap terawet.

Akan tetapi, asumsi setiap orang itu berbeda. Apalagi setiap budaya. Budaya ketimuran kita selalu berorientasi pada sistem patriarki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline