Lihat ke Halaman Asli

fahmi karim

Suka jalan-jalan

Kampus dan Hak Penyandang Disabilitas

Diperbarui: 2 Agustus 2022   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri: Dialog Koalisi Daerah OPD dengan Pemerintah Daerah, DPRD, dan Akademisi Unsrat

Saya selalu meyakinkan kepada banyak orang bahwa Penyandang Disabilitas mengalami diskriminasi sejak dalam pikiran, kebijakan, juga model pembangunan. Karena demikian, karena perbedaan fasilitas yang diterima, karena akses yang dibangun oleh pemerintah hanya diperuntukkan untuk orang "awas" (istilah yang dipakai oleh Penyandang Disabilitas untuk menyebut orang non-disabilitas). Bahwa dunia dibangun dengan asumsi diskriminatif.

Jika saya tanya kepada Anda, "Apa yang Anda pikirkan tentang disabilitas?" Mentok soal rasa iba; rasa kasihan yang harus diberikan secara utuh kepada mereka yang lemah, yang tidak berdaya, yang tidak punya kerjaan tetap.

Ingat! Rasa iba yang timbul hanyalah rasa iba itu sendiri tanpa mengasumsikan bahwa situasi yang Penyandang Disabilitas alami dihasilkan oleh dunia yang tidak adil. Makanya tidak ada yang ingin berbicara di publik tentang dunia yang tidak adil bagi Penyandang Disabilitas. Tidak ada yang ingin bicara di publik bahwa Penyandang Disabilitas mengalami pengabaian melalui kebijakan pembangunan. Semua bicara masalah kasihan dan pelindungan tanpa memasukan unsur kritik ke setting kebijakan. 

Keterbatasan yang Penyandang Disabilitas alami akibat dari ketidaksamaan akses yang diterima. Jadi masalahnya bukan pada Penyandang Disabilitas, namum dunia yang tidak memberikan kesempatan akses. Misalnya ketidaksamaan akses pendidikan; tidak adanya model perkuliahan yang aksesibel untuk Penyandang Disabilitas, atau tidak adanya kurikulum yang membahas hak-hak Penyandang Disabilitas.

Jika kita merujuk ke Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) atau disingkat CRPD, yang diadopsi oleh PBB pada 13 Desember 2006, dan berlaku sejak 3 Mei 2008, lalu diratifikasi melalui UU 19/2011, kemudian lahir UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, telah diatur tentang hak-hak Penyandang Disabilitas, termasuk hak pendidikan.

Dalam UU 8/2016, pasal 40-44 telah dijelaskan rinci mengenai hak-hak pendidikan bagi Penyandang Disabilitas dan anak dari Penyandang Disabilitas. Termasuk akomodasi yang layak.

Misalnya dalam pasal 40 ayat (1) "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya". Ayat (2) "Penyelenggaraan dan/atau fasilitas pendidikan untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus". Ayat (7) "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan biaya pendidikan untuk anak dari Penyandang Disabilitas yang tidak mampu membiayai pendidikannya".

Dalam pasal 42 ayat (3) "Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas". Ayat (7) "Penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas dikenai sangsi administrasi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan
d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan".

Dalam pasal 43 juga dijelaskan masalah akomodasi yang layak, yaitu penyesuaian kurikulum dan aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas. Jika tidak terdapat akomodasi yang layak di perguruan tinggi makan akan dikenai sangsi seperti sangsi yang tertera pada tidak dibuatnya Unit Layanan Disabilitas.

Pasal 44 "Perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline