Lihat ke Halaman Asli

FithAndriyani

Read and Write

Exspectat

Diperbarui: 16 Oktober 2018   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siapa bilang dalam mencintai hanya cukup menyangkut 'aku' dan 'kamu' menjadi satu?

Jika demikian maka takkan ada tulisan 'mohon doa restu' pada undangan pernikahan. Karena hanya dengan adanya cinta keduanya belumlah cukup membuat pernikahan terlaksana.

Aku dan kamu sudah sekian lama menjadi kita. Menjalani kisah kasih dengan sederhana, bertemu malu-malu, berjauhan rindu. Kami tinggal di daerah yang berbeda namun tidak menjadi kendala. Cinta sudah lama mengikis jarak, menguji percaya bahwa setia itu butuh usaha bersama.

Kami bahagia, apapun rintangan yang berusaha mencegah. Kedatangan orang baru di dalam hubungan, mengontrol percaya pada pasangan yang jauh dari pandangan, atau rasa bosan di tengah perjalanan. Tak terhitung berapa kali kami marahan, saling tidak memberi kabar. Tetapi kami selalu kembali, mengisi sesuatu yang kurang ketika renggang.

Masalah yang sulit dihadapi hanya satu, restu.

Dalam dunia orang dewasa, terkadang pemahaman didapat bukan dari jelasnya ucapan. Orang dewasa menilai dari gerak-gerik, raut wajah, konotasi, intonasi dan intuisi. Meski penafsiran sendiri menggiring pada dugaan-dugaan, mereka tetap melakukannya. Setidaknya agar menyiapkan sikap dan skema baru,  bagaimana mengutarakan maksud hati dengan baik pada orang lain.

Begitupun dengan apa yang terjadi pada hubungan kami. Ibumu tidak mengatakan dengan gamblang jika ia tidak memberi restu kepada hubungan kami. Aku tidak mendengarnya secara langsung, pun kamu yang notabene putranya.

Kami tinggal di satu daerah yang sama. Rumah kami hanya berjarak sekian kilometer. Namun, sejak kamu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di salah satu kota besar di Jawa Timur, kami menjalani  hubungan jarak jauh.

Maka secara tidak langsung, aku terlibat interaksi sosial dengan ibumu. Entah di acara gotong royong, salat berjamaah di masjid, atau hanya berpapasan di jalan. Beliau tahu jika aku menjalin hubungan dengan putranya, tetapi beliau bersikap seolah aku masihlah seorang tetangga yang kebetulan adik tingkat putranya. Kamu belum memperkenalkan aku kepada ibumu, aku pun belum memperkenalkan dirimu pada ibuku. Kami saling melihat respon ibumu dahulu sebelum beranjak pada tahap berkenalan dengan orang tua masing-masing.

Menampik kenyataan ini, kami tetap bersikukuh bertahan. Menjalani LDR yang bila bertemu harus diam-diam. Menyedihkan memang, namun kami percaya restu hanya masalah waktu saja. Hati manusia dapat berubah sewaktu-waktu. Kami hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

Aku baik-baik saja menjalani hubungan ini, meski terkadang ada rasa iri di hati melihat pasangan lain yang menunjukkan hubungan mereka terang-terangan. Tidak, aku tidak menginginkan hubungan kami semata untuk eksposur, menjadi konsumsi publik. Hanya saja terkadang lelah harus sembunyi-sembunyi, melempar kode lalu mengulum senyum jika di muka umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline