Beberapa waktu yang lalu, isu penyematan tanda gelar “Gr” pada guru begitu santer diberitakan. Gerbang Metropolis (SM/20/2/14) juga mengupas tentang gelar “Gr” yang dipandang sinis oleh sejumlah pihak. Pro kontra penyematan gelar “Gr” tersebut mencuat setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud No. 87 Tahun 2013 tentang Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Setelah sebelumnya masih malas ngepo tentang PPG, gegara berita ini saya jadi punya Permendikbud No. 87 itu. Sungguh benar ternyata pada pasal 14 dalam Permendikbud tersebut tertulis bahwa sebutan profesional lulusan program PPG adalah bentuk singkatan “Gr” yang akan disematkan di belakang nama para guru.
Pihak yang pro mengatakan bahwa pemberian gelar tersebut seakan menjadi wujud penghargaan dan apresiasi atas profesi guru yang disetarakan dengan profesi dokter, insinyur, dan sebagainya. Sedangkan pihak yang kontra beranggapan bahwa pemberian gelar “Gr” pada lulusan PPG tidak serta merta menjamin peningkatan kualitas para guru. Apalagi sebagain besar lulusan PPG adalah para sarjana muda atau guru baru yang belum mencicipi “asam garam” dunia pendidikan di lingkup sekolah.
Empat tahun, Masih Kurang?
Menelaah pemberian gelar “Gr” berarti juga membahas tentang pelaksanaan PPG yang digadang-gadang menjadi solusi peningkatan profesionalitas guru. Pemerintah beranggapan bahwa gemblengan selama empat tahun saat menjadi mahasiswa prodi kependidikan belumlah cukup. Oleh karena itu, digagaslah tambahan “kawah candra dimuka” berupa PPG. Padahal saya yakin kurikulum prodi kependidikan sudah dirancang untuk mendidik para calon guru unggul.
Pengalaman saya menjadi mahasiswa prodi kependidikan, mahasiswa sudah diajarkan untuk mengimplementasikan isi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28 yang menyebutkan bahwa para guru setidaknya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Mengingat kembali, kompetensi pedagogik adalah kemampuan untuk mengelola pembelajaran dan kompetensi kepribadian berhubungan erat dengan pepatah Jawa, yaitu guru yang dapat digugu lan ditiru. Adapun kompetensi profesional berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran yang digunakan untuk mendidik siswa. Sedangkan kompetensi sosial adalah pembentukan karakter dan kemampuan guru untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswa, sesama guru, orang tua siswa, dan masyarakat secara umum.
Keempat kompetensi tersebut sudah diajarkan kepada mahasiswa kependidikan, dimulai dari penguasaan materi pembelajaran, etika, perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran yang efektif, hingga adanya kelas micro teaching untuk berlatih mengajar sebelum menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah.
Meskipun saya juga tidak menampik bahwa pengalaman saat menjalani PPL masih sangat kurang, tetapi kegiatan tersebut setidaknya dapat memberi gambaran pada mahasiswa bagaimana wujud arena pengabdian kelak. Kembali ke PPG, apabila menurut pemerintah kemampuan calon guru yang dihasilkan dari perkuliahan selama empat tahun masih kurang, di manakah letak kekurangannya? Apakah pada kurikulum LPTK? atau memang dari karakter tiap mahasiswa yang menjadi calon guru? Jika PPG dianggap sebagai program solutif, mengapa harus berdiri terpisah dengan pendidikan empat tahun calon guru? Akankah di tahun 2016, yang katanya semua guru harus bergeral “Gr”, mahasiswa prodi kependidikan harus menjalani perkuliahan selama lima tahun? Atau cukup empat tahun dan tambahan “sukarela” PPG bagi yang mau dan mampu?
Kompleksitas Permasalahan Guru
Masih berkorelasi dengan pro kontra gelar “Gr”, tajuk rencana Suara Merdeka (18/2/14) “Menakar Urgensi Gelar Guru” berisi ulasan tentang beragam tanda jasa yang menyertai guru masa kini. Hal tersebut berbeda dengan zaman Oemar Bakri. Ya, saya sependapat dengan Sekjen FSGI, Retno Listiyarti, yang menyatakan bahwa pemberian gelar “Gr” tidak serta merta menyelesaikan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia.
Menengok sistem pendidikan di Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, nyatanya karut marut tanda jasa bagi para guru tidak terjadi di sana. Sebab sistem pendidikan di Finlandia benar-benar terpisah dengan kepentingan politik pemerintah. Tidak seperti di Indonesia yang penentuan kurikulum dan nasib para guru saja masih bergantung pada kepentingan politik penguasa. Oleh karena itu, wajar jika ada anggapan bahwa seakan-akan Indonesia masih galau dengan arah laju pendidikannya.
Menurut saya, kok nantinya mutu pendidikan di Indonesia akan semakin kabur jika pemerintah sebatas ngadem-adem para guru dengan pemberian gelar “Gr” ataupun sertifikasi sebagai wujud tunjangan profesi tanpa pemberian bekal pelatihan, pembinaan, dan pengawasan yang terpadu dan intensif.
Tidak dipungkiri jika ledakan minat mahasiswa memilih prodi kependidikan yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini dikarenakan iming-iming sertifikasi dan kesejahteraan para guru. Oleh karena itu, memang benar jika yang harus diperhatikan adalah sistem penanaman kompetensi kepribadian dan sosial bagi para calon guru, tidak sekadar penyematan gelar “Gr” atau sertifikasi semata. Sedikit puitis, sejatinya guru adalah profesi yang didasari lentera jiwa, tidak sekadar profesi yang didasari dengan iming harta. Meskipun tidak dipungkiri bahwa guru juga perlu harta untuk menafkahi keluarga.
Alih-alih memusingkan penyematan gelar “Gr”, pemerintah lebih baik segera menuntaskan masalah pemerataan dan penyetaraan guru di seluruh Indonesia. Apabila program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar Tertinggal dan Terdepan (SM3T) hanya menempatkan para guru selama satu tahun di suatu sekolah dengan imbalan gaji penuh dan PPG gratis, apakah tidak lebih baik lagi jika pemerintah lebih banyak memberikan beasiswa pendidikan penuh kepada para putra daerah terluar tertinggal dan terdepan untuk menjadi para guru yang unggul? Sehingga kelak kebutuhan guru di sekolah-sekolah tersebut dapat terpenuhi tanpa harus berganti guru setiap tahunnya.
Selain itu, pemerintah harus lebih banyak mengadakan sosialisasi, pelatihan, dan pembinaan intensif bagi para guru. Berkaca pada penerapan kurikulum 2013 saja, sampai sekarang masih begitu banyak guru yang awam dan belum memahami implementasi kurikulum tersebut dengan baik dikarenakan minimnya sosialisasi. Begitu pula dengan pemberian gelar “Gr”, pelaksanaan PPG, maupun sertifikasi jangan sampai memberatkan para guru sehingga guru malah mengesampingkan tugas pokoknya untuk mendidik siswa.
Kembali ke kodrat guru yang sewajarnya digugu lan ditiru, gelar “Gr” seharusnya tidak sekadar wujud pengakuan, tetapi wajib diikuti dengan peningkatan kompetensi guru unggul. Karena memang sudah menjadi keharusan bagi guru untuk mengabdi dengan integritas, dengan kerelaan hati, yang tentu saja pada akhirnya “pengakuan” tersebut akan datang dikarenakan perilaku dan dedikasinya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan karena gelar semata. Oemar Bakrie pun telah mencontohkan, sudah kodratnya bagi para guru untuk berjuang tanpa tepuk tangan. Pahlawan tanpa tanda jasa, bukan sosok penuh “tanda” tetapi minim jasa. Semoga!
Tenanglah, Nak, belajarlah yang rajin, jangan lupa berbagi. Niatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kelak, di zamanmu, dengan caramu.
*tulisan ini juga sudah saya unggah di akun facebook.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H