Lihat ke Halaman Asli

Feti nurlaily

Semoga bermanfaat

Menerapkan Sistem Peringkat di Kelas, Ancaman atau Dukungan?

Diperbarui: 9 April 2019   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan di Indonesia lebih memfokuskan pada nilai akhir siswa di akhir tahun ajaran. Tak jarang beberapa sekolah menerapkan sistem peringkat guna mencari siswa yang paling unggul di kelas. Lalu menerapkan sistem peringkat di kelas merupakan dukungan atau justru ancaman?

img-20190408-211219-5cabed64cc528308426bf302.jpg

UAS (Ujian Akhir Semester) ialah ujian yang setiap akhir tahun ajaran selalu rutin diselenggarakan guna mengukur kemampuan siswa dalam memahami materi yang selama ini telah mereka terima. UAS pun menjadi salah satu faktor utama kenaikan kelas terhadap siswa. Beberapa guru mengacu dan menjadikan nilai UAS sebagai acuan layak atau tidaknya siswa untuk dinaikkan kelas. Tak heran jika peristiwa contek-mencontek sering kita jumpai tatkala diselenggarakannya ujian. 

Demi mendapatkan nilai yang bagus, siswa berani melakukan hal-hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai tindakan kriminal dalam suatu lembaga pendidikan. Yah, contek-mencontek. Mengapa hal tersebut sering terjadi dan sangat sulit untuk dihentikan?Pendidikan Indonesia yang masih menitik-beratkan pada penilaian akademis siswa di akhir tahun ajaranlah yang menjadi penyebab utamanya. Itulah mengapa di setiap  kali dilaksanakan ujian selalu kita jumpai peristiwa contek-mencontek, baik siswa yang membawa contekan berupa kertas kecil berupa catatan atau sekedar bertanya jawaban kepada teman. Tragis memang, yah itulah yang sering terjadi selama ini. Demi naik kelas, semua akan dilakukan siswa. Meskipun tindakan itu jelas-jelas berupa larangan. Moral dan karakter kejujuran yang selama ini ditanamkan pada diri siswa seakan ternodai dengan tindakan yang kurang baik tersebut.

img-20190408-211147-5cabed9f3ba7f71718222223.jpg

Setelah nilai dari UTS (Ujian Tengah Semester) dan UAS (Ujian Akhir Semester) diakumulasi dan tercatat di rapor siswa untuk dibagikan. Tak jarang guru membacakan peringkat siswa di kelas meskipun hal itu sudah tercatat di rapor. Beberapa sekolah pun bahkan memberikan piagam penghargaan sebagai apresiasi atas prestasi yang diraih siswa tersebut di dalam kelas dan sebagai motivasi yang lain untuk berkompetisi secara sehat di bidang akademis. Selain menjadi penyemangat siswa dalam berkompetisi di kelas, sistem seperti ini juga bisa menjadi sebuah ancaman. Mengapa demikian?

Nilai-nilai moral yang akan membentuk kepribadian siswa lahan-perlahan akan luntur. Benteng yang selama ini dibangun kuat-kuat bisa seketika saja runtuh dengan dilakukannya kegiatan contek-mencontek. Pendidikan karakter, penanaman nilai-nilai islami pun bisa ternodai dengan adanya sistem seperti ini. Sikap jujur yang dimiliki siswa bisa hilang karena tindakan yang kurang patut dilakukan hanya demi mendapatkan nilai bagus dan peringkat yang tinggi. 

Lebih dari itu, siswa yang mendapatkan nilai buruk akan mengalami mental yang lemah untuk terus bersaing karena yang menjadi tolak ukur hanyalah nilai mata pelajaran. Lalu bagaimana dengan siswa yang lemah menerima pelajaran atau materi baru? Kecepatan siswa dalam memahami materi pun berbeda-beda. Maka dari itu, dibuatnya sistem pengelompokan kelas siswa berdasarkan kemampuan siswa.

 Apakah hal demikian termasuk dalam tindakan diskriminasi? Tidak menurut saya, akan lebih disayangkan lagi jika tidak ada pengelompokan kelas. Karena jika antara siswa yang dapat dikatakan cepat menerima materi dengan siswa yang cukup lama memahami materi itu digabungkan akan terjadi ketidak-seimbangan di dalam kelas tersebut. Jika guru yang mengajar mengikuti kecepatan belajar siswa yang cepat menerima materi, siswa yang lain akan tertinggal jauh. Begitu pun sebaliknya, jika guru mengikuti kecepatan siswa yang cukup lama memahami materi akan berdampak kurang baik dengan siswa lainnya dan materi pun terkesan lamban dan membosankan.

img-20190408-212010-5cabee0895760e2d73478d04.jpg

Lebih jauh dari hal itu, pernahkah kalian coba mengamati ekspresi siswa ketika selesai melaksanakan ujian matematika? Ada yang murung, ada yang bahagia dengan senyum-senyum, ada juga yang biasa saja dengan muka datarnya. Ketika ditanya bagaimana soal ujiannya tadi? Ada yang menjawab "Sudah jangan diingat lagi", "Yah, begitulah", "Sumpah soalnya sulit banget", "soalnya kecil". Beragam jawaban siswa ketik ditanya tanggapannya mengenai soal matematika yang dikerjakannya. Tidak bisa mendapatkan nilai di matematika juga bukan berarti bodoh. Jika pandainya siswa hanya diukur dari bidang akademisnya saja itu merupakan penilaian yang salah. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan kelebihan di bidangnya masing-masing tidak hanya di bidang akademis saja. Ada siswa yang kemampuannya di bidang musik, di bidang seni, dan bidang lainnya.

Menerapkan sistem peringkat di kelas bisa menjadi ancaman dan juga bisa menjadi dukungan bagi siswa. Ancamannya ialah nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan dan ditancapkan kuat-kuat pada siswa akan bisa cepat hilang. Itulah yang menjadi penyebab pentingnya pendidikan karakter bagi siswa. Menjadi dukungan, dengan adanya sistem peringkat di kelas siswa semakin termotivasi untuk lebih semangat dan giat lagi dalam belajar. Utamanya berkompetisi sehat di bidang akademis. Ditambah lagi, pemberian piagam penghargaan akan meningkatkan minat siswa untuk lebih dan lebih lagi dalam belajar.

Cukup sekian. Terima kasih. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline