Lihat ke Halaman Asli

Efwe

TERVERIFIKASI

Officer yang Menulis

Merasakan KRL di Masa Sebelum Jonan dan Masa Setelah Jonan

Diperbarui: 30 September 2022   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

VoaIndonesia.com

Kereta api mungkin merupakan media transportasi yang paling banyak menyisakan jejak romantisme bagi masyarakat Indonesia khususnya mereka yang berada di Pulau Jawa dan beberapa bagian di Pulau Sumatera.

Bagi saya kereta api sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan keseharian. Saat ini pergi dan pulang untuk mengais rejeki, Kereta Api Listrik (KRL)  Jabodetabek menjadi tunggangan andalan.

Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam pelayanan di sana sini, tetapi bagi saya dan jutaan masyarakat lain KRL merupakan transportasi paling reliable, cepat, nyaris tanpa hambatan, waktu tempuhnya yang relatif bisa diprediksi dibanding menggunakan transportasi berbasis aspal, dan murah karena masih disubsidi Pemerintah melalui mekanisme Public Service Obligation (PSO).

Sebagai pengguna setia, saya mengalami dua fase besar dalam per-KRL-an Jabodetabek, masa sebelum "Jonan" dan masa setelah "Jonan."

Kata "Jonan" merujuk pada mantan Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Ignatius Jonan periode 2009-2014 yang mengubah sama sekali wajah Perkeretaapian Indonesia, termasuk KRL Jabodetabek.

Saya ingat betul kondisi KRL di masa lalu sebelum Jonan masuk PT. KAI, sungguh sangat semrawut. Saat itu KRL masih dibagi ke dalam dua kelas, ekspres dan ekonomi.

KRL Ekspres, harga tiketnya jauh lebih mahal, gerbong keretanya berpendingin udara, berhenti di stasiun-stasiun tertentu saja kalau dari arah Bogor hanya berhenti di Stasiun Depok, Pasar Minggu, Manggarai, dan Stasiun Kota.

Profil penumpangnya pun berbeda, di KRL ekspres di dominasi oleh pekerja kantoran yang cenderung lebih tertib.

Sedangkan KRL kelas ekonomi panas dan pengap berbau 7 rupa tanpa AC,  dipergunakan semua kalangan, sangat murah, bahkan sebagian diantaranya tak membayar tiket, pedagang asongan dan pengemis bebas menjalankan aktivitasnya di atas gerbong KRL tak peduli sepenuh apapun penumpang yang menjejalinya.

Saking penuhnya penumpang meluber hingga ke atap gerbong KRL, dan itu merupakan pemandangan sehari-sehari.

Alhasil, nyaris setiap hari kita mendengar ada saja penumpang yang celaka karena tersengat listrik kabel aliran atas atau terjatuh dari atap gerbong kereta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline