Lihat ke Halaman Asli

Efwe

TERVERIFIKASI

Officer yang Menulis

Mengapa Jokowi Lebih Memilih Kata "Ekstremisme" Dibanding "Radikalisme" dalam PP 7/2021 REN PA?

Diperbarui: 22 Januari 2021   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ektremisme yang Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme ( PP RAN PE) yang dirilis oleh pemerintah 6 Januari 2021 menuai polemik.

Sebagian pihak menyebut aturan baru tersebut dapat menimbulkan konflik horizontal antar warga masyarakat.

Padahal pemerintah  lewat aturan ini sepertinya ingin meminimalisir agar penyebaran paham-paham yang mengarah pada extremisme ini tak meracuni masyarakat secara masif, agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi aman dan nyaman.

Terlepas dari polemik itu, satu hal yang menarik buat saya adalah pilihan kata dalam PP RAN PE ini, kenapa menggunakan kata "Extremisme bukan Radikalisme" yang saat ini lebih populer, padahal jika kita baca aturan baru ini, uraiannya tentang extremisme ini serupa dengan hal-hal yang selama ini dikenal dengan radikalisme.

Selidik punya selidik ternyata istilah radikalisme yang kita pahami selama ini ternyata memang mengalami peyorasi dan cenderung salah kaprah.

Akar kata Radikal, menurut The Concise Oxford berasal dari bahasa latin "Radix, Radicis" yang berarti mengakar, sumber, atau awal mula.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara umum pemahaman masyarakat tentang radikalisme seperti yang kerap dimuat berbagai media arus utama atau media sosial adalah sikap keras dalam aliran atau paham  yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis dan untuk mencapainya cenderung menggunakan kekerasan.

Dan Radikalisme itu difahami sebagai ekspresi kultus keagamaan yang berakar pada alienisasi dan dislokasi sosial di tengah laju modernisasi. Dengan kata lain radikalisme itu merupakan gejala patologi keagamaan.

Menurut Jurnal Ilmiah yang di tulis oleh DR Alex.P. Schmid bertajuk Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review", 2014.

Radikalisme jauh lebih tidak bermasalah bagi masyarakat demokratis dibandingkan extremisme. Radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan. Radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis.

Sementara dari sudut pandang agama, menurut mantan Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Sifuddin. Memahami dan mengamalkan suatu agama itu memang harus radikal yang berarti mendalam dan mengakar dalam diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline