Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen | Para Tamu Rumah Kami

Diperbarui: 1 Februari 2023   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay


Awalnya, cukup masuk akal alasan Mama ketika menyuruhku mematikan semua lampu di teras rumah. Lampu jalan yang berada tepat di depan rumah  komplek kami sudah cukup memberi penerangan, kata Mama.

Saat Mama mulai menambah perintah untuk mematikan seluruh lampu dalam rumah besar kami supaya hemat listrik, aku juga masih bisa mengerti. Kami mulai berat membayar listrik karena tidak ada pemasukan.

Lalu saat listrik akhirnya diputus PLN hingga rumah kami gelap gulita, itu pun masih wajar meski berat kuterima. Namun, mulai sulit untukku, ketika Mama mulai bicara dengan tamu kegelapan.

--

Keuangan sudah kritis. Perlahan isi rumah kami jual bertahap. Mama menyuruhku jual ke tetangga atau siapa saja yang mau. Awalnya lemari, kemudian sofa, meja, dan perabot-perabot yang bernilai jual tinggi. Merambah ke ranjang, kasur, dan peralatan dapur. Aku juga menjual boneka atau mainanku yang menggunung di kamar. Dua tahun saja isi rumah mampu membantu keuangan kami. Selanjutnya kosong.

Rumah besar dan bertingkat kami pun akhirnya kosong. Seperti hatiku. Kosong bertingkat-tingkat. Kosong ditinggal Papa yang pergi; kosong ditinggal jiwa Mama yang pergi, ke dunia gelap; kosong dari pendidikan yang telah kutinggalkan; dan kosong dari keuangan.

Agar tak kosong sekali ini hati, aku masuk ke dunia maya. Melalui handphoneku. Nonton video, bermain game, chatan dengan teman medsos, membaca online, atau menulis khayalan

--

Akan tetapi, perbuatanku dilarang Mama. Handphone yang nyala itu memancarkan cahaya. Sementara Mama mulai membenci cahaya, mencintai dan menikahi gelap. Mama dan gelap kini telah sepasang pengantin baru. Aku sering mendengar mereka bercengkrama, tertawa, bertengkar, berteriak, dan berdiam-diaman.

Pernah sekali Mama kudengar menangis panjang dan menyayat dalam gelap, tetapi setelah itu tidak pernah lagi. Aku pun pernah menangis tersedu, tapi Mama memarahiku. "Jadi laki jangan cengeng. Lemah kamu! Kayak Bapakmu!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline