Lihat ke Halaman Asli

Kesendirian dan Kontemplasi

Diperbarui: 5 Maret 2022   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi berkontemplasi Sumber : rawpixel.com (Freepik)

Siapa yang bisa menikmati kesendirian? Atau lebih tepatnya, bagaimana kesendirian bisa dinikmati? Bagi orang yang cenderung introvert, kesendirian mungkin menjadi momen favoritnya. Namun sebaliknya, bagaimana jika orang yang cenderung ekstrovert bisa memandang kesendirian sebagai momen yang bisa dinikmati?

Saat kita sedang sendiri, sebenarnya kita tidak benar-benar sendiri. Ada kita dan diri kita, bahkan ada Tuhan yang senantiasa memperhatikan dari singgasananya. Maka kesendirian bisa dibilang sebagai momen yang lengang namun tidak kosong. Sehingga banyak hal yang bisa dilakukan tanpa merasa sepi, termasuk berkontemplasi.

Singkatnya, kontemplasi adalah kegiatan merenung. Kontemplasi bermula dari kondisi di dalam diri, baik itu kondisi pikiran maupun hati. Pikiran dan hati akan saling bergandengan menatap apa yang sedang direnungkan. Soal apa yang direnungkan, bisa terkait banyak hal. Contoh yang paling sederhana adalah berdialog dengan diri sendiri.

“Halo diriku! Apa kabar?”

Hal paling sederhana yang dapat didialogkan dengan diri sendiri adalah menanyakan kabar. Bisa jadi, hiruk-pikuk sehari-hari membuat kita lalai menyadari kondisi diri saat ini, baik secara fisik maupun mental. Merenungkan kabar diri sendiri bisa membantu kita untuk sadar tentang apa yang membuat kita jenuh, kesal atau tidak nyaman belakangan ini. Entah karena pola hidup yang dijalani atau karena lingkungan sosial yang menjemukan. Kita dan diri kita akan mencoba berefleksi ke kehidupan dan menemukan permasalahan untuk dipecahkan. Sehingga bukan tidak mungkin diri kita dapat lebih menikmati keseharian dengan lebih baik lagi setelahnya.

“Hei diriku! Sudah tau mau jadi apa nanti?”

Berkontemplasi juga merupakan momen penting untuk kita bisa fokus meninjau ulang tujuan hidup. Terutama bagi para Gen-Z yang saat ini berpotensi besar terjebak dalam jurang quarter-life crisis. Namun perlu diwaspadai, jangan biarkan pikiran berkhianat saat berkontemplasi mengenai tujuan hidup. Biasanya pikiran memberontak dengan membandingkan kualitas dan pencapaian diri dengan orang lain, yang mana akan membuat kita overthinking tak berkesudahan.

Cukup dengan mengajak pikiran dan hati untuk mulai memikirkan rencana-rencana kecil jangka pendek hingga jangka panjang. Dilanjut dengan memotivasi diri untuk pelan-pelan konsisten menjalaninya dan jangan sampai terburu-buru ingin menggapainya. Masa depan bisa didefinisikan oleh apa yang kita lakukan sekarang, tanpa perlu resah dan tergesa-gesa mendefinisikannya.

“Oy diriku! Gimana kabar hubungan kita dengan sekitar?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline