Lihat ke Halaman Asli

Fathoni Arief

Rakyat biasa

Oase dari Ipuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_129855" align="aligncenter" width="500" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption] IPUH, satu kecamatan di Bengkulu Utara, siang itu begitu terik. Panas menyengat, debu dan letih membawa kami menepi ke sebuah pom bensin. Sejak habis Subuh hingga siang kendaraan kami sudah menempuh jarak lebih dari 100 km.

Kami mengisi bahan bakar di pom bensin yang tak terlalu ramai itu. Selain sekedar istirahat, bersih-bersih dan menjalankan ibadah Sholat Dhuhur. Keringat, debu jadi satu menempel di sekujur badan. Air bersih menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Selepas Sholat di Mushola kecil di sudut pom bensin saya dan seorang rekan bergabung dengan dua rekan lain yang tengah duduk-duduk di teras mini market SPBU. Duduk di teras yang cukup teduh dan semilir angin mampu meredakan letih dan penat.

Melihat kami di sana seorang penjual es campur ternyata ikut nimbrung sambil menyajikan pesanan rekan saya, minuman dalam gelas plastik. Sayapun tergoda memesan minuman yang menyegarkan itu.

Penjual es campur , bapak penjual itu kuperkirakan usianya baru 40an awal. Tingginya sekitar 165 dengan kulit coklat sawo matang dan kumis tebal di wajahnya. Ia berjualan dengan menggunakan sepeda motor bebek dan dagangan yang diletakkan di tempat di kiri kanan dengan dudukan khusus dari kayu. Ya si bapak dengan cekatan meracik lagi 2 gelas es campur. Tak lama butuh waktu lama, es campur sudah siap saji. Ketika melewati kerongkongan di tengah cuaca yang terik memang segar dan nikmat rasanya. Apalagi kata penjualnya es campur itu tanpa pemanis buatan. " Asli mas, tanpa pemanis buatan saya jamin, kecuali mungkin rotinya saya tak tahu," begitu kata si bapak sambil menunjukkan bahan-bahan es campur dagangannya..

Sambil menikmati es kami mendengar si bapak cerita. Ia berkisah tentang asal muasalnya dan hal ikhwal keberadaanya di Kabupaten Bengkulu Utara ini. Bapak penjual es, Sebut saja namanya pak Joko, ternyata orang asli Karanganyar, Jawa Tengah. Cerita selanjutnya yang membuatku terperangah dan berdecak kagum.

Awal tahun 2009 sekira 6 bulan yang lalu, pak Joko datang ke Bengkulu. Ia datang tidak menggunakan bus, kapal, atau pesawat namun dengan sepeda motor. Bayangkan saja ia naik motor lengkap dengan perkakas yang menempel di motor tempat menaruh dagangan es campurnya. Katanya perjalanan dari Karanganyar hingga Bengkulu Utara dia tempuh dalam tempo 4 hari 4 malam. Waktu itu ia nekad berbekal satu tekad merantau, jualan es Campur mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya.

Jiwa perantau sebenarnya sudah ada pada diri pak Joko. Bengkulu Utara bukanlah tempat pertama kali ia merantau. Ia pernah ke beberapa tempat di Indonesia dan negeri seberang. Ia berkisah tentang kegagalannya sebagai buruh migran di Brunai dan saat menjadi penjual pecel lele di kotaPontianak. Konon saat di Pontianak inilah ia terkena guna-guna oleh rekan seprofesinya hingga ia memutuskan kembali ke Jawa.

Sebelum memutuskan ke Bengkulu ia sempat terfikirkan untuk mengadu nasib di Jogja. Namun setelah survey lokasi dan dari cerita kenalan-kenalan ia memutuskan merantau ke Bengkulu. Meski masih tertatih-tatih kini pundi-pundi pak Joko mulai mengalir. Dari hasil jualan es cukup lumayan. Bahkan dalam waktu dekat ia merencanakan membuka warung nasi. Ada berbagai jenis sambal andalan yang akan dia sajikan. Sambil menikmati es campur, sambil terkagum-kagum sekaligus malu melihat kegigihan pak Joko. Cerita si bapak usai, es campur sudah cukup menghilangkan dahaga dan kamipun pamit melanjutkan perjalanan menuju kabupaten Muko-muko... selalu ada kisah, pelajaran di perjalanan.. Bengkulu Utara, 21 Agustus 2009




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline