Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Fardhansyah

Masih Belajar

Refleksi Satu Tahun Penanganan Pandemi Covid-19, Siapa yang Diprioritaskan?

Diperbarui: 25 Juni 2021   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

olahan pribadi

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 memporak porandakan seluruh aspek kehidupan sejak pertama kali masuk ke Indonesia dengan ditemukannya kasus pertama (case 01) Covid-19 pada Maret 2020. 

Pada awal kemunculan kasus pertama, kita dihadirkan oleh pertunjukan dari pemerintah yang seakan-akan menyepelakan Covid-19, mulai dari candaan pemerintah kalau masyarakat Indonesia suka makan nasi kucing jadi sudah kebal dan masih banyak lagi. Berbeda dengan negara lain yang mayoritas sudah mendahulukan pencegahan besar-besaran dan mengambil langkah serius.

Saya rasa tujuan pemerintah baik agar masyarakat tidak panik dan roda perekonomian tetap berjalan. Meskipun pada akhirnya pemerintah kewalahan, ibarat dikasih obat paracetamol agar masyarakat tenang sesaat.

Pada akhirnya ketika kasus Covid-19 meningkat, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Meskipun dalam perjalanannya, kebijakan ini bersifat ambivalen atau mendua, karena tidak jelasnya aturan dan komando dari masing-masing pihak yang berwenang, akibatnya masyarakat bingung jika kemarin kebijakan ini berkata A kok sekarang berubah menjadi B.

Contoh lain, mengenai PPKM Mikro (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berskala Mikro), dimana koordinasi dan pencegahan penyebaran Covid-19 dimulai dari tingkat terkecil yaitu RT. Tapi, kebijakan ini tidak sesuai dengan realita yang terjadi dalam skala makro. Seperti contoh pemerintah mempercepat kembali pengesahan RUU yang sempat diprotes publik sampai adanya di wacana dari salah satu kementerian menerapkan Work from Bali.

Keputusan yang diturunkan dalam skala mikro nyatanya tidak direalisasikan dalam skala makro. Pada akhirnya membuat masyarakat bingung, aturan penanganan Covid-19 yang tidak konsisten dan belum lagi kasus korupsi yang terjadi saat pandemi ini mencerminkan betapa menyedihkan pemimpin kita.

Memang benar, tidak ada negara yang siap dalam menghadapi suatu wabah, apalagi virus Covid-19 yang dapat bermutasi secara cepat. tapi sebagai pemerintah yang memiliki instrumen seharusnya siap untuk mengantisipasi itu. Karena bukan pertama kalinya negara kita terpapar oleh wabah.

Sebagai contoh, Wabah PES yang menyerang Hindia Belanda pada tahun 1911 – 1930 menguak ketidakadilan dan tatanan politik yang kacau, pemerintah kolonial sempat memberlakukan karantina wilayah, tetapi tidak efektif dan hanya berjalan selama satu tahun karena menuai protes dari kalangan pengusaha yang membutuhkan pekerja untuk perkebunan mereka.

Diskriminasi terhadap masyarakat pun ikut terasa yang mana hanya golongan birokrat yang mendapat prioritas penanganan. Program penggantian rumah (verbetering) masyarakat pribumi yang terjangkit dilakukan dengan cara membakarnya tetapi setelah dibangun kembali, masyarakat harus membayar rumah tersebut kepada pemerintah kolonial.

Kebijakan tersebut membuat masyarakat merasakan ketidakadilan dan memicu banyak protes dari kalangan yang saat itu sadar akan politik dan perlawanan dari golongan petani.

Dari fakta sejarah tersebut kita dapat merefleksikan, bahwa wabah dapat memperlihatkan watak asli pemerintah, hal itu pun dapat kita lihat dari tata kelola penanganan Covid-19 saat ini. Mulai dari lembaga eksekutif yang kebijakannya tidak konsisten sampai lembaga legislatif yang malah berfokus kepada produk hukum yang tidak ada kaitannya dengan penanganan pandemi ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline