Wiji Thukul merupakan salah satu aktivis yang hilang pada Mei 1998. Sampai saat ini, Wiji Thukul belum diketahui keberadaannya. Diduga kuat Wiji Thukul sengaja dihilangkan oleh rezim Orde Baru (Orba) karena sebagai penyair, puisi-puisi pemberontakkan Wiji Thukul dapat menjadi ancaman laten bagi status quo kekuasaan yang korup.
Salah satu puisinya yang dianggap subversif oleh pemerintah Orba adalah puisinya yang berjudul PERINGATAN yang dibacakannya pada saat deklarasi berdirinya Partai Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), partai yang kemudian terlarang karena dianggap wajah lain dari komunisme (PKI).
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Puisi Wiji Thukul di atas merupakan refleksi atas realitas sosial yang dialami bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Bahkan bisa dikatakan puisinya merupakan kenyataan sosial yang sedang terjadi pada saat itu dimana suara-suara yang mengritik dan menentang pemerintahan Orba pasti akan diberangus.
Maka penggalan puisinya PERINGATAN pada bait terakhir jelas terlihat sebagai sebuah upaya provokasi dari sang seniman untuk melawan penguasa yang korup. Melalui puisinya ini Wiji menyatakan perang via aksara terhadap kelaliman yang telah terjadi. Pantas jika kemudian ia dianggap makar terhadap rezim yang sedang berkuasa.
Hal ini semakin dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa Wiji Thukul merupakan salah satu penggerak Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang kemudian dijadikan sayap kanan PRD di mana Wiji Thukul menjadi ketua Divisi Budayanya. Jakker, oleh rezim Orba dilihat juga sebagai Lekra yang menjadi organisasi sayap kanan PKI. Sebagai seorang seniman, Wiji Thukul melihat bahwa seni harus membebaskan.
Seni semestinya bisa membawa transformasi sosial. Seni seyogyanya menjadi bahasa kenyataan sosial yang perlu diperjuangkan. Karena itu, ia memang pantas menjadi target pemerintah Orba karena seni merasuk siapa pun tanpa pandang bulu.
Puisinya bisa menjadi bensin yang menyulutkan api perjuangan. Apalagi Thukul tercatat sebagai aktivis sosial di balik demo para buruh. Pusinya lahir di tengah, berasamaan, dan menggerakkan aksi sosial untuk melawan apa yang menjadi isi puisinya.