Lihat ke Halaman Asli

Faisal yamin

Belajar menulis

Cerpen | Perempuan di Garis Lurus

Diperbarui: 8 Januari 2020   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sebuah gubuk kecil dan reot yang letaknya di atas bukit samping kali itu sunyi nan sepih. Di selubungi pekatnya malam laksana juba hitam membalut cakrawala, terlihat seorang perempuan tengah duduk sendiri di pojok sunyi. Sembari menatap langit-langit rumah yang dipenuhi sarang laba-laba dengan tubuh yang mati mengaga ke langit-lagit.

Dengan perasaan luka yang bertualang laksana seorang pemburu yang menyusup masuk kedalam hutan, laksana seorang tua yang memungut barisan kenangan yang berserakan di peron sunyi. Dengan nyalah lilin di hadapanya, dia coba membasuh luka dengan butir hujan malam yang kini turun menjamah tanah, dia coba mendinginkan suasana hati yang tenga panas dirundung nyala api kekecewaan.

Dia tak mampu menahan semuanya, dia payah, menjadi budak pilu yang merundung dan membalut hatinya seperti tangkai yang didekap ulat bulu lalu mengulitinya. Perasaanya hancur, tak tau arah. Dia seperti dipaksa masuk kedalam genangan air yang hitam dengan bau busuk sedang dia sendiri tak tau bagaimana berenang untuk menyelematkan diri keluar.

Semakin dia membenamkan diri dalam genangan kenangan, semakin lukanya dibuat menganga. Dan akhirnya, dia pun tak kuasa lagi membendung air mata yang mulai merembes keluar dari pelupuk mata. Dengan hawa dingin yang makin membaluti tubuhnya, dia menarik keluar sebuah pena dari laci meja di hadapanya. Dia terlalu hina, dan baginya orang seperti dia tak akan ada yang sudi berbicara bahkan mendengar keluh kesahnya.

Dengan pongah dan payahannya dia ingin menumpahkan seluru rasa yang tak mengenakan lewat penah. Dia mau berbicara dengan kata-kata, sebab dengan kata-kata dia tak mendapatkan penolakan. Dengan selembar kertas yang telah tergeletak di hadapanya, dia memulai bertualang dengan kata-kata, dengan kalimat dan dengan paragraf. Ketika ujung pena menancap di kertas kosong, pikiranya hampa, dia tak tau dari mana dia harus memulainya.

Sesaat dia diam, dengan air mata yang terus keluar membasahi pipihnya dan terus jatuh di atas kertas itu. Dan kemudian, dia tancapkan ujung penahnya ke beberapa titik bekas air mata yang bersarang di kertas itu. Mulailah dia membuat goresan pada titik sembab, seperti bola bumi yang di lihat dari dimensi lain. Dan perlahan, hatinya mulai mantap menumpahkan semuanya dan berbicara pada kata-kata, kalimat dan paragraf.

"Di bawa purnama yang tak lagi bercahaya, dengan rintik hujan yang menusuk gigil malam yang kian gelap. Aku kabarkan kepada kata yang perlahan ku rangkai menjadi kaliamat, yang mungkin kian waktu akan menjadi paragraf.

Aku kabarkan kepada kalian, bersama dengan goresan pena tentang luka seorang anak manusia. Takkala semuanya bisu pada keadaan, takala semua lupa pada tugasnya. Aku hanya berupaya mengingatkan mereka dengan sedikit teriak keluar dari lidahku, itu saja tak lebih.

Dan di saat yang sama, aku harapkan iba kalian untuk turun meraih tangan dan menyambung lidahku agar suara-suara itu mampu menancap dan menghujam para jiwa-jiwa yang hidup dangan tamak dan nafsu yang terbalut dalam jiwa.

Tidakkah kalian yang tamak dapat melihat apa yang aku perbuat, dengan batin dan mata yang bercahaya laksana nyala api di selah gulita. Sunggu, mata kalian dan juga hati telah tertutup salju yang kian tebal atau noda hitam yang entah apa yang harus di gunakan untuk melunturkannya.

Salakah aku jika berteriak, menuntuk hak kami yang di kebiri oleh orang-orang yang tamak itu? Jika salah maka tunjukan cara yang lebih bijak dan lebih agung. Tapi bukankah telinga kalian telah di tutupi dengan syair dunia? Maka tak ada yang lebih pantas kiranya dengar berteriak lantang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline