Lihat ke Halaman Asli

Fadli Arif

Presiden

Gerimis

Diperbarui: 23 November 2023   05:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bawah langit yang mendung, tetesan gerimis jatuh dengan lembut, mengusik kenangan masa lalu. Di sebuah desa kecil, seorang wanita duduk di teras rumahnya, memandangi hujan yang mengingatkannya pada kisah cinta yang pernah terurai.

Setahun yang lalu, di tengah gerimis yang sama, dia bertemu dengan lelaki yang membawa payung merah. Pertemuan itu seperti takdir yang terpintal oleh tetesan air yang mengalir di antara keduanya. Namun, seperti gerimis yang datang dan pergi, begitu juga kisah mereka.

Malam itu, ketika gerimis semakin lebat, dia menemui foto-foto lama di lemari. Foto-foto itu memperlihatkan senyuman mereka yang dulu begitu indah, tapi kini hanya tinggal dalam kenangan. Hatinya terasa seperti gerimis yang semakin deras, membasahi rindu yang terpendam.

Seiring hujan yang merayapi malam, dia menulis surat untuknya. Kata-kata yang selama ini terpendam, seakan dilepaskan bersama tetesan gerimis di kertas. Surat itu dia letakkan di bawah payung merah yang pernah menyatukan mereka.

Tetesan gerimis menjadi saksi diam dari perpisahan yang terjadi di antara kenangan. Di pagi berikutnya, saat matahari mulai bersinar, wanita itu melangkah ke depan, meninggalkan kenangan bersama gerimis yang perlahan mereda.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline