Lihat ke Halaman Asli

Ketika Hujan Berhenti

Diperbarui: 29 November 2022   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Cerpen Sumber Gambar: Wattpad via Pinterest

Setiap kejadian yang datang padamu adalah kali pertama kau mengalaminya. Terluka ke sekian kali, merasakan jatuh cinta, dan semua yang datang adalah hal yang sepenuhnya baru. Tidak pernah ada lubang yang sama. Sebab kau telah merenovasi dirimu, kau tumbuh.

Mataku terpejam merasakan sentuhan lembut yang menggelitik kulit dari alam. Siapa sangka sisa hujan badai tadi pagi begitu menenangkan jiwa. Bibirku tersungging tatkala melihat luasnya dirgantara di atas atap. Rumah-rumah warga berjajar rapi serta jalanan yang mengantarkan manusia hilir mudik menemui tujuan mereka. Baru beberapa jam setelah diterpa badai saja sudah tumpah ruah apalagi kalau bukan musim hujan.

“Apa guna arti kehidupan apabila aku tidak punya tempat untuk pulang?” Aku bergumam.

Tangan kiriku menggenggam perban yang mulai usang dan cutter di tangan kanan. Di atas sini alunan angin merdu begitu menyihir tubuhku dengan sentuhan sejuk yang menggelitik kulit. Wangi darah segar samar-samar terbentuk di dalam hidungku.

Seiring imajinasi yang terus terbayangkan di dalam kepalaku. Mata pisau yang berkilauan seolah berkata bahwa ia lebih bergairah mengiris pergelangan tanganku.

Aku pernah mendengar berita lewat siaran radio entah apa judulnya aku tak iangat. Siaran itu terus memberitakan bunuh diri pada pembukaannya. Kadang aku heran mereka yang sering bunuh diri sebelumnya masih mau melanjutkan hidup kan? Mereka hanya ingin rehat dalam menjalani kehidupannya. Karena bingung harus melakukan apa dan tidak menemukan jalan keluarnya maka mereka lebih memilih mengakhirinya.

"Haru, kamu ngapain di sini?!"

Aku terserentak begitu seseorang menggenggam tanganku erat-erat. Haru nama yang memiliki makna musim semi. Musim yang selalu dinanti-nantikan umat manusia setelah menempuh kedinginan di sepanjang malam. Namun namaku tak seindah maknanya.

"Halo Yuki, bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"

Dia melepas genggaman tanganku secara perlahan. Yuki, satu-satunya temanku yang memiliki kharisma bak mentari pagi. Senantiasa menyejukkan bagi siapa saja yang mendekati. Aku terlampau iri bahkan sinarnya mampu menembus hati ketika berinteraksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline