Lihat ke Halaman Asli

Esti Estiarati

Menulis untuk Menikmati Hidup

Inspirasi tak Terbatas dari Ibu

Diperbarui: 3 Januari 2018   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang benar, butuh waktu yang sangat panjang untuk  berbicara tentang 'Ibu' kita.  Lidahku serasa kelu untuk berbicara, karena 'toh', memori otak ini sudah terlalu banyak diisi oleh kehidupan Ibu ketika aku membersamainya dahulu, sejak dilahirkan hingga kini. Aku merasa peran Ibuku sedemikian besar dalam kehidupanku. Lagi-lagi dimulai dari usia kanak-kanak hingga kini, saat diriku sendiri sudah menjadi seorang ibu bagi anak-anakku. Meski beliau tidak tinggal bersama kami, namun sosoknya seringkali hadir dalam kehidupan kami, khususnya ketika kami menemui permasalahan keluarga dan lain-lainnya. Ibu menjadi sosok terdepan yang membantu dan mensupport kami. 

Bukan hanya hal besar, tetapi juga masalah sepele keluarga. Sepertinya Beliau menjadi orang pertama yang enak dimintai tolong, apalagi ketika meminta Beliau untuk menemani anak-anak di rumah. Setiap ada peristiwa, baik yang menyenangkan atau tidak, aku selalu teringat Ibu. Aku selalu ingin bercerita padanya. Istilah kerennya, Ibuku menjadi tempat curhatanku. Tahukah Anda, berapa usiaku? Sudah 47 tahun lho. Masa sih, di usiaku yang juga sudah mulai menua, masih seperti anak kecil saja? Selalu ingin bercerita dan meminta tolong pada Ibu? Mengapa hanya padanya aku tidak merasa malu? Ah, entahlah, mungkin karena darahnya telah menjadi darahku juga. Kami sama-sama memiliki ikatan batin.

Tetapi tahun ini aku ingin mulai mengurangi keterlibatan Ibu dalam kehidupan keluargaku. Artinya, kami mulai sekarang tidak ingin merepotkannya. Sebisanya berusaha mengatasi persoalan rumah tangga sendiri. Jangan sebentar-sebentar minta tolong Ibu (oh, aku menyesal). Tambahan lagi, usianya  sudah menjelang 75 thn, tidak tega kami meminta tolong padanya. Fisiknya sudah melemah bukan? Demikian juga dengan curhatanku, sebisanya aku ingin kurangi curhatan yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, sampaikan padanya hal-hal yang menyenangkan dirinya. 

Tahu tidak, ketika kita bercerita padanya tentang persoalan rumah tangga kita yang menyusahkan bagi kita, tanpa kita sadari, Ibu akan ikut memikirkannya. Ketika kita bersedih, Beliau akan ikut sedih. Ketika kita marah dengan seseorang, Ibu akan sedih juga. Kaget dan sedih jika melihat anaknya berbuat tidak baik. Seolah ada rasa bersalah pada dirinya. Padahal kesalahan anaknya yang sudah dewasa, bukanlah tanggung jawabnya. Tetapi aneh, seorang Ibu ternyata tidak bisa bersikap masa bodoh dengan urusan anak-anaknya, sampai kapanpun hingga akhir hayatnya? Dapatkah kita seperti itu, di masa kini? Di dunia yang serba materialistis?

Kesabaran Ibu yang luar biasa dalam segala hal, inilah hadiah sekaligus warisan terbesar untukku. Aku ingin seperti Ibuku, yang sabar dalam mendidik keluarganya. Mungkin sudah kehendak yang Kuasa, bahwa ternyata kehidupan Keluarga Ibuku tidak selalu mulus, cobaan hidup serasa berat, tatapi Ibu menyikapinya dengan tenang.  Ini yang aku sukai dari beliau.

Cerita tentang kepribadian Ibu, adalah baru satu sisi saja aku bisa ceritakan disini. Lainnya, jika berbicara tentang materi apa saja yang pernah dia berikan padaku, jumlahnya tak ternilai. Aku menganggap, apapun yang beliau berikan sedari dahulu adalah hadiah untukku. Mulai dari makan masakan Ibu yang lezat, keperluan sekolah yang disiapkannya di masa lalu, semua adalah hadiah.

Jika harus menyebutkan salah satu hadiah terbaik darinya --mohon maaf- aku tidak bisa. Sebab semua yang telah diberikan, baik materi maupun nonmateri, adalah yang terbaik. Misalnya, Ibuku pernah memberikan tas terbaiknya untukku, juga mesin jahit tua kesayangannya, diberikan juga untukku, hanya untukku, katanya sebagai kenang-kenangan, supaya aku yang juga senang menjahit seperti Ibu ini, bisa lebih bersemangat lagi.

Oya, Ibuku memang pandai menjahit. Waktu aku kecil, aku sering melihat Ibu menjahit pakaian pesanan orang  sampai larut. Aku bangga padanya, karena kata orang, jahitan Ibuku rapi sekali. Pernah suatu ketika Ibuku kewalahan menerima pesanan jahitan sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Tahu tidak, siapakah dia yang dimintai bantuannya? Ya betul, dia adalah aku, anak gadisnya yang saat itu baru berusia 9 tahun. Ibuku merasa aku bisa, karena aku sering memperhatikan kerjanya. Saat itu Ibu hanya memintaku untuk membantu mengesoom (sum) dua potong pakaian. Wah, rasanya gembira sekali, karena Ibu mempercayaiku mengerjakannya. Kata Ibu saat itu, jahitanku cukup rapi. Aku bahagia sekali bisa membantunya menjahit. Kini keterampilan menjahit ini, telah menjadi hobbyku, bahkan telah menjadi peluang bisnis untukku kini.

Dengan demikian, setidaknya ada dua hadiah terbaik Ibu untukku. Pertama, adalah kepribadian dan kesabarannya dalam mengarungi kehidupan. Kedua, hadiah  berupa mesin jahit kesayangannya ini, telah menjadi inspirasiku, bahwa seorang wanita dan Ibu, sebaiknya memiliki keterampilan untuk bisa dimanfaatkan pada masanya kelak. Aku ingat, dulu ibukulah yang menjahitkan pakaian kerjaku, ketika pertamakali aku diterima bekerja di Jakarta. Ada lima setelan pakaian kerja yang dibuatnya sendiri dengan rapi dan serasi, tidak kalah dengan buatan butik terkenal. Aku terbantu sekali. Juga penampilanku, beliau yang mengarahkannya, membuatku tampil semakin percaya diri.

Terima kasih Ibu..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline