Lihat ke Halaman Asli

Kesenjangan Ekonomi, Realitas dan Tantangan Indonesia!

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12978068301494318823

[caption id="attachment_90199" align="aligncenter" width="579" caption="Potret Kesenjangan Sosial dan Ekonomi (sumber: rumah.com & id.wikipedia)"][/caption]

Pernahkah anda membayangkan bertempat tinggal di sebuah negeri dimana penduduknya makmur berkecukupan, negeri dimana ketika warganya pergi meninggalkan rumah tidak perlu mengunci pintu karena yakin tidak akan ada yang mencurinya, negeri dimana ketika kita berzakat dan beramal para panitia kebingungan menyalurkannya?

Badan Pusat Statistik dalam rilis beritanya beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2010 mencapai 6.1 persen, melebihi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah yaitu sebesar 5.8 persen (walaupun pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 lalu seorang kandidat yang memenangkannya menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen). Selanjutnya nilai Produk Domestik Bruto atau dapat disebut sebagai nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu mengalami peningkatanmenjadi Rp 6422.9 Triliun pada tahun 2010, lebih tinggi jika dibandingkan nilai Produk Domestik Bruto pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp 5603.9 Triliun. Dan yang paling mencengangkan adalah pendapatan perkapita penduduk Indonesia sebesar Rp 27 juta pertahun, lebih tinggi dibandingkan pendapatan perkapita tahun 2009 yang sebesar Rp 23.9 juta pertahun Sebuah pencapaian yang cukup baik setidaknya menurut tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Pertumbuhan ekonomi atau dapat disebut juga sebuah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional, tahun 2010 mencapai 6.1 persen , jika kita kupas lebih lanjut kenaikan cukup signifikan ini merupakan kontribusi dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan ke 4 yang mencapai 6.9 persen sementara pada triwulan ke 3 hanya sebesar 5.8 persen. Angka-angka ini setidaknya menunjukkan penyerapan APBN pada triwulan 3 dan 4 cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka tidaklah mengherankan jika Sektor Pengangkutan dan Komunikasi melesat menyumbang pertumbuhan sebesar 13.5 persen dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran bertumbuh sebesar 8.7 persen. Apakah hal ini menunjukkan aparat birokrasi pusat dan daerah kita pada kurun waktu triwulan ke 3 dan ke 4 banyak sekali mengadakan rapat, seminar, workshop danperjalanan dinas antar daerah?

Namun secara keseluruhan perlu dicermati bahwa pertumbuhan ekonomi ini bukan didorong oleh Sektor Produksi Barang yang diwakili oleh Sektor Pertanian yang hanya bertumbuh 2.9 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian hanya sebesar 3.5 persen dan Sektor Industri Pengolahansebesar 4.5 persenbandingkan dengan Sektor Jasa selain Sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta Perdagangan, Hotel dan Restoran seperti contoh diatas, Sektor Keuangan , Real Estate dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 5.7 persen dan Sektor Jasa Jasa yang bertumbuh sebesar 6.0 persen . Seperti banyak kita tahu bersama banyak diantara petani, nelayan dan buruh masuk dalam kategori masyarakat miskin, dengan pertumbuhan ekonomi Sektor Produksi Barang yang hanya dibawah 5 persen dan menyumbang sekitar 53 persen dari tenaga kerja secara keseluruhan ( 41 persen dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, 12 persen dari sektor industri pengolahan), maka tidaklah mengherankan bila kemiskinan dan pengangguran tidak terkurangi secara mengesankan. Hal yang sebaliknya terjadi pada sektor jasa yang bertumbuh diatas 5 persen saat ini hanya menyerap tenaga kerja sebesar 11.5 persen. Dari berbagai fakta diatas menarik untuk ditarik benang merah bahwa kemakmuran dan penghasilan lebih besar dinikmati oleh para pelaku ekonomi pada Sektor Jasa dan hal inilah yang menjadikan kesenjangan ekonomi masih terbuka jika dibandingkan dengan pelaku atau tenaga kerja pada Sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, dan Sektor Industri Pengolahan ( petani, nelayan dan buruh)

Walaupun Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai Rp 6 422.9 Triliun, dengan fakta-fakta diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa peningkatan PDB tidak dinikmati oleh masyarakat miskin. Hal ini ditunjukkan bahwa pendapatan perkapita yang naik menjadi Rp 27 juta pertahun ini banyak disumbangkan oleh orang-orang kaya.Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak tahun 2008 ekonomi Indonesia berkembang karena bergairahnya pasar modal sehingga menciptakan orang-orang kaya baru. Fakta lain adalah 0.11 persen pemilik rekening menguasai hampir 49 persen dana yang ada diperbankan. Hal ini dikuatkan oleh laporan Asia Wealth Report 2010 yang mengindikasikan bahwa sebagian besar kelompok orang kaya Indonesia menyimpan aset kekayaannya dalam bentuk deposito/ tabungan, real estate, saham, reksa dana pendapatan tetap, dan investasi alternatif seperti kurs mata uang asing atau komoditas. Yang pasti kelompok orang kaya ini sebagian besar tidak menginvestasikan uangnya pada sektor-sektor produksi.Sementara itu angka kemiskinan sendiri masih simpang siur, menurut BPS warga miskin Indonesia sebesar 31 juta orang namun berdasarkan review Kompas jumlah penerima programJaminan Kesehatan Masyarakat yang tentu saja diperuntukkan bagi warga miskin adalah sebesar 76.4 juta orang, mereka adalah penduduk miskin yang dapat menggunakan fasilitas ini ketika sakit. Lantas data mana yang dapat kita jadikan rujukan? Menurut hemat saya dengan rujukan kedua data itu tetap menunjukkan kesenjangan ekonomi jika disandingkan dengan data-data diatasnya.

Kesenjangan ekonomi antar wilayahpun dalam kurun waktu 3 tahun berturut-turut tidak banyak berubah. Pulau Jawa memberikan kontribusi 58 persen terhadap PDB, disusul Pulau Sumatera yang memberikan kontribusi 23.1 persen, bandingkan dengan Maluku dan Papua yang hanya 2.4 persen, Sulawesi 4.6 persen dan Kalimantan sebesar 9 persen. Terlihat dengan jelas bahwa pembangunan ekonomi belumlah merata dan meyakinkan.

Kekawatiran sementara kalangan akan efek yang ditimbulkan oleh kesenjangan ekonomi ini cukup beralasan, mengingat hal ini dapat memicu kerawanan sosial, meningkatnya angka kriminalitas, bunuh diri, yang akan berdampak lebih menurunkan tingkat kesejahteraan itu sendiri bahkan hal yang lebih parah adalah disintegrasi bangsa akibat ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Semoga saja hal seperti tidak terjadi.

Namun semua ini kembali kepada pemerintah yang telah diberi mandat oleh rakyat mengurus negeri ini untuk menjadi lebih baik dan mencapai tujuan bangsa. Data yang disampaikan oleh BPS sebetulnya adalah peta dimana terlihat peluang-peluang untuk perbaikan dimasa yang akan datang, bahkan dapat untuk membuat cetak biru pembangunan nasional. Sebagai contoh adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan buruh. Pada zaman Orde Baru pemerintah memberikan dukungan bibit, pupuk, insektisida bahkan penyuluhan terpadu dan yang tidak ketinggalan adalah ikut mengintervensi pembelian beras petani dengan harga yang pantas, namun saat ini dengan pola penyerahan sepenuhnya kepada mekanisme pasar dan intervensi pemerintah yang semakin minimal, tampaknya akan menjadi tantangan tersendiri. Lantas bagaimana dengan peningkatan kesejahteraan buruh? Bagaimanapun juga kesejahteraan buruh sangat terkait dengan regulasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan regulasi yang terkait dengan investasi. Pada sisi pengusaha secara ektrem tentu menginginkan labor cost serendah rendahnya dengan produktifitas setinggi tingginya, pada sisi buruh tentu menginginkan agar pendapatan yang diterima tidak hanya cukup saja menghidupi keluarga namun juga berharap agar sebagian pendapatannya dapat ditabung untuk masa depannya. Keselerasan regulasi inilah yang mesti difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih antarapusat dan daerah utamanya yang terkait investasi dan ketenagakerjaan, sehingga pengusaha sebagai investor merasa nyaman berinvestasi tanpa dibayang bayangi ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya akan banyak yang berinvestasi di sektor produksi. Dengan kata lain tren deindustrialisasi yang tercermin pada menurunnya kontribusi industri pengolahan terhadap PDB( 2008, industri pengolahan berperan sebesar 27.8 persen dalam PDB, lalu turun menjadi 26.4 persen pada 2009 dan 24.8 persen pada 2010) dapat dicegah dan dapat ditingkatkan lagi, mengingat peluang untuk memproduksi dan mengolah sumber daya alam menjadi barang yang mempunyai nilai lebih sangatlah besar demikian pula pasar Indonesia juga cukup luas. Jangan pernah puas menjadi pengimpor barang dan menjual hasil kekayaan alam saj tanpa diolah terlebih dulu. Potensi kekayaan hayati perairan atau laut Indonesia sangatlah besar namun kita tahu bersama, pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam kelautan utamanya perikanan masih jauh dari menjanjikan sehingga kesejahteraan nelayan tidak beranjak secara meyakinkan dari tahun ke tahun, bahkan yang memprihatinkan begitu banyak ikan-ikan di wilayah perairan Indonesia yang dicuri oleh nelayan-nelayan asing. Penguatan TNI Angkatan Laut adalah salah satu jawaban namun dukungan pemerintah pusat dan daerah yang riil untuk meningkatkan taraf hidup nelayan dengan pendekatan industri pengolahan mungkin merupakan salah satu jawaban dari sekian banyak cara.Walahualam.

Hemm..akhirnya saya temukan juga lagunya Katon Bagaskara ...Kau mainkan untukku...sebuah lagu...tentang negri di awan...

Salam Kompasiana

Erfan Adianto

Seorang buruh biasa

Postingan saya yang lain di Kompasiana

Jangan pernah Meremehkan Militer Indonesia!

Sudah Menyerahkah Indonesia Terhadap Korupsi?

Memilih Untuk Bahagia

Upaya Menutupi Anggaran Perjalanan Dinas Pejabat Tahun 2011

Dibalik Skenario Pembebasan Bea Masuk Impor Bahan Pangan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline