Lihat ke Halaman Asli

emnis wati

Pendidik

Haruskah Aku Mati, Biar Kau Mengerti dan Bisa Hargai

Diperbarui: 15 Oktober 2022   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah anak yang sangat menghormati dan menghargai orang tua. Sekali pun tak sanggup untuk menolak permintaan mereka. Rida orang tua sangat penting bagiku.

Kini tibalah masanya aku dijodohkan dengan anak tetangga. Menurut orang tua dan sanak saudara, dialah yang terbaik sebagai pendamping hidupku. Tanpa pikir Panjang dan banyak pertimbangan, aku menerima perjodohan dan lamarannya. Pak Budi, begitulah orang di kampungku memanggilnya.

"Lira, kau sangat beruntung kalau nikah dengan Budi. Dia guru yang sudah punya penghasilan tetap. Tentu tidak akan menyia-nyiakan hidupmu. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan ganteng pula." kata Ibu. Tiada kata yang bisa kuucapkan selain menganggukkan kepala tanda setuju.

Hari berganti, proses perjodohan pun serba dipercepat karena beliau bertugas di luar daerah. Seminggu setelah lamaran akad nikah dilangsungkan, pesta pernikahan dilaksanakan seminggu setelahnya.

Ternyata, kini aku sudah sah menjadi istri  Pak Budi.  Aku harus ikut suamiku ke tempat tugasnya di luar daerah. Tempat tinggal kami tak seberapa jauh dari sekolah tempat beliau bertugas.

Kepala desa dan warganya menyambut kedatangan kami. Makanan yang disuguhkan sangat enak dan lezat. Kado pernikahan menumpuk, baik dari anak didik maupun dari masyarakat. Alangkah senangnya hati terasa jadi ibu pejabat saja.  Suamiku  terkenal sebagai  guru yang baik di daerah tersebut. Bersyukur aku mendapatkan suami yang baik seperti yang dikatakan Ibu. 

Rupanya penghasilan pegawai perbulan tak seberapa. Hanya cukup untuk makan dan minum satu bulan. Terbiasa kerja dan terima gaji, aku jadi serba tak enak rasanya. Hidup di rantau jauh dari orang tua ternyata sangat menyedihkan. Apalagi tempat tinggalnya jauh dari keramaian. Berbanding terbalik dengan tempat kerja sebelumnya di kota metropolitan yaitu Kuala Lumpur.

Suamiku hanya berada di rumah sore hari. Setiap hari kerja berangkatnya pagi-pagi tinggallah diriku sendiri. Sunyi sekali, jaringan listrik pun belum masuk, apalagi jaringan telepon. Angkutan umum juga tak ada. Bingung mau berbuat apa dan mau pergi kemana-mana. Susah senang hidup berkeluarga di rantau, cukup kita berdua yang tahu. Sebagai istri aku berusaha mencintai dan menyayangi suamiku. Berusaha berbuat yang terbaik untuknya. Namun siapa sangka dan siapa  menduga prahara melanda dalam keluargaku.

Setelah masuk bulan ketiga sikap dan pelayanan suami  mulai berubah. Biasa Pak Budi bicaranya lemah lembut dan tak pernah marah. Sekarang tutur katanya selalu menyakitkan hati. Melihatku seakan tak sudi. Apa yang dilakukan tidak ada benarnya. Semua salah tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Masakan yang aku masak dan hidangkan tak dilihatnya apalagi mau dimakan .

"Lira, aku berangkat dulu," pamit Pak Budi sambil memakai sepatunya.

"Kenapa tak makan dulu, Pak Budi?" tanyaku

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline