Lihat ke Halaman Asli

El Sanoebari

Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Misteri Sang Melankoli

Diperbarui: 11 November 2022   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Lunna, sahabat dekat saya tinggal berselang lima rumah dengan saya. Ngopi bareng, baca buku bareng jadi kebiasaan kami, berbagi kelelahan sepanjang minggu, bertukar informasi lomba, mengutarakan impian kami lima tahun lagi atau sekedar bercerita tentang pria idaman dan kami akan jadi wanita idaman seperti apa beberapa tahun lagi. Topiknya hanya seputaran itu saja. Kadang, saking rakusnya kami bisa membahas semua topik itu dalam waktu 1 jam sehingga tidak ada satu pun bahan pembicaraan yang benar-benar nyantol di hati untuk ditindaklanjuti. Yang terpenting adalah bareng. Itu prinsipnya.

Lunna kuliah jurusan matematika di salah satu universitas, dan sudah semester lima. Aktivitas dia sehari-hari adalah membuat laporan kerja yang harus ditulis tangan. Dia sendiri heran, saat dimana teknologi berkembang begitu melesatnya, dosennya masih mengandalkan tulisan tangan untuk mengerjakan tugas. Alasannya absurd banget, "karena ini adalah tugas menulis laporan, bukan tugas mengetik laporan". Lunna merasa ada yang bergejolak ingin naik ke kepalanya, warnanya merah, merambah dari ujung kuku kaki, lutut, jantung lalu ke kepala. Naik darah. Alhasil, Lunna hanya mengucapkan terimakasih atas alasan bapak dosen yang sangat tidak masuk akal bagi para mahasiswa. Lunna mencoba menelusuri apakah angkatan 3 tahun yang lalu juga demikian, tapi yang dia temui pertama kali justru neneknya yang menggali sejarah :

"Nenek dulu, menulis di bambu, tidak menggunakan pena seperti sekarang tapi memakai tulang dan batu. Beruntungnya kamu, Lun bisa menulis dengan mudah, semua bahan dan alat mudah didapatkan".

Perkataan nenek menusuk sampai ke otak, bagaimana mungkin Lunna naik darah hanya dengan menulis tangan tugas laporan? Tapi bagaimanapun juga Lunna menekuninya, dengan sebuah alasan klasik "untuk membahagiakan orangtua". Pasalnya, bidang studi yang ditekuninya adalah hasil perdebatan antara papanya yang menginginkan Lunna menjadi seorang dokter paru tapi gagal dan mamanya yang menginginkan Lunna menjadi peneliti suatu hari nanti ketika mama sudah uzur. Suatu saat mungkin akan terwujud, ketika Lunna berhenti bermimpi jadi seorang penulis. Mungkin.

Bertolak belakang dengan saya, matematika adalah bidang mata pelajaran yang nilainya selalu memperoleh maksimal 50 saat SD sampai SMA dulu, bahkan sampai perguruan tinggi saya selalu menghindari semua matakuliah yang berbau hitungan. Sampai ada perasaan trauma ketika diberikan tugas hitungan oleh dosen atau menjadi seorang bendahara adalah profesi yang menakutkan. Karena itu saya memilih jurusan sejarah. Alasanya karena bagi saya setiap orang memiliki sejarahnya dan setiap waktu kita membentuk sejarah, selain itu mudah dipelajari dan menyenangkan.

Adik saya Erens berkomentar, "kakak kenapa setiap pilihan harus ada alasan?"

Saya memegang kedua pundak adik saya, saya jongkok untuk menyamai tinggi badannya. "Karena alasan-alasan itu yang mendorongmu Erens maju selangkah lagi dan lagi, alasan itu jua yang akan menguatkanmu saat mulai lemah, alasan bisa membawamu ke sebuah sejarah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya."

"Seperti apa itu kak?"

"Seperti Erens dan kakak sekarang. Allah punya alasan kenapa menciptakan Erens dan kakak. Suatu hari kalau Erens sudah makin besar akan tahu, alasan Allah menciptakan Erens. Erens berharga di mataNya. Kalau Allah tidak menciptakan Erens, bisa?"

Erens mengangguk kecil.

"Terus kalau kakak alasannya apa Allah menciptakan?" tanyanya penasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline