Lihat ke Halaman Asli

Elisa Koraag

Akun Kompasiana ke dua

Mengoptimalkan Kemampuan Memelihara Kesehatan Jiwa dan Raga

Diperbarui: 16 April 2021   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Tak ada kegelapan yang mampu menahan fajar, sama seperti tak ada seorang pun yang bisa menghalangi kebahagiaan saya. karena bahagia saya yang tentukan. Saya bisa memilih mau bahagia atau tidak. 

Di usia saya yang sudah lewat setengah abad, meningkatkan kemampuan memelihara kesehatan jiwa & raga menjadi penting. Untuk kesehatan jiwa, saya tetap melakukan kegiatan yang saya sukai, di antara aktifitas saya sebagai istri dan ibu. 

Saya tetap berusaha bahagia dengan apa yang saya miliki. Bersyukur menjadi kunci utama. Sedangkan untuk kesehatan raga, selain mengkonsumsi makanan bergizi, berolahraga menjadi penyempurna. 

Awal pandemi tahun lalu, saya nggak stres-stres banget. Karena saya emang, istri dan ibu yang sudah tidak lagi berkantor. Artinya aktifitas saya lebih banyak di rumah. Sesekali ke luar rumah jika ada undangan kegiatan blogger. Jadi adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, saya biasa saja. Aktifitas tidak berubah. Yang berubah, penghasilan. Ini dialami semua orang. 

Minggu-minggu pertama, senang luar biasa, karena santai banget. Nggak harus bangun pagi, nggak harus cepat-cepat cuci baju demikian juga nggak harus cepar-cepat masak. Buat sarapan, asal punya mie instan, telor dan roti tawar, semua aman terkendali. Kedua anak saya sudah bisa nguprek di dapur, pun Pak Suami. 

Situasinya berbeda kalau situasi normal, tiap pagi saya punya kewajiban menyiapkan sarapan dan bekal. Oh iya, kedua anak saya dari masih di TK sampai sudah menjadi mahasiswa selalu sarapan dan bawa bekal. Nah inipun bagian yang menjadi bahan bakar kebahagiaan jiwa saya. Ibu mana sih yang nggak hangat hatinya, kalau anak-anak selalu bilang, masakan Mama jempolan.

Saya menawarkan, kalau-kalau mereka nggak mau bawa bekal, biar jajan di kantin sekolah. Mereka senyum-senyum dan menolak. Ketika mereka masih SD, saya bersama para orangtua murid mendatangi kepala sekolah untuk membuat kesepakatan menu dengan kantin sekolah. Tuntutan saya dan orangtua murid, kantin sekolah cuma boleh mejual mie instan, satu hari dalam enam hari sekolah. Lima hari lainnya harus menu sehat.

Misalnya nasi goreng, nuget dan sayur bening, sayur sop dan telor dadar dan seterusnya. Pokoknya mie instan cuma boleh sekali dalam seminggu. Karena buat saya aneh, di rumah dilarang tapi di sekolah bisa tiap hari makan mie instan. Balik soal masak-memasak. Menyiapkan apa yang disukai anak-anak dan Pak Suami, membuat saya merasa diperlukan. Itu jadi penyemangat saya beraktifitas.

dokpri

Memelihara rasa-rasa semacam ini perlu. Saya menjadikan anak-anak sebagai kawan tapi dengan tetap memegang kontrol. Membangun kebersamaan dalam keluarga harus dijaga dan dipelihara. Kami ber 4 suka belanja di malam hari. 

Sejak anak-anak kecila, saya dan pak suami kerap mengajak anak-anak melihat saat ikan, daging, sayur yang baru turun dari truk-truk. Hingga sekarang, kedua anak saya tetap asik diajak belanja ke pasar tradisional. Bahkan mereka tidak keberatan kalau sedang di luar dan saya mengirim pesan untuk singgak ke pasar atau supermarket untuk membeli keperluan dapur atau kamar mandi. 

Kebersamaan dengan anak-anak dan Pak Suami sudah saya bangun dan saya biasakan sejak anak-anak hadir ke dunia. Saya sangat meyakini, pembiasa an ini menjadi semacam pengingat sekaligus pengikat kami sebagai sesama anggota keluarga. Termasuk melakukan perjalanan ke luar kota dan  berolahraga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline