Lihat ke Halaman Asli

eli kristanti

Guru Bahasa Inggris

Santri dan Pemusnahan Isu Sensitif

Diperbarui: 25 Oktober 2023   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NU Online

Sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia, Indonesia layak untuk berbangga hati. Bagaimana tidak bangga, karena ada banyak keragaman ada di Indonesia, tapi itu tidak menyurutkan harmoni bagi umat beragama.

Terlebih kaum santri yang mendiami puluhan ribu bahkan ratusan ribu pondok pesantren ini dikenalkan dengan soal keberagaman. Ini tak lepas dari penyebaran Islam di Indonesia yang sebagian melalui Wali Sanga (Wali Songo) yang menyebarkan agama Islam dengan damai. Para wali tidak menafikan atau tidak memberangus kepercayaan lokal yang melekat di warga lokal. Mereka memeluk Islam tetapi membiarkan beberapa kultur yang sudah melekat beberapa abad lamanya.

Pada masa itu informasi tidak sepadat pada masa kini sehingga tidak terjadi disrupsi yang kacau seperti sekarang ini, santri fokus pada pelajaran agama yang akan dia peroleh dari media sosial dan internet seperti sekarang ini.

Saking pentingnya santri bagi Indonesia, maka ditetapkanlah tanggal 22 Oktober menjadi hari santri.

Penetapan Hari Santri Nasional yang diikuti dengan lahirnya Undang-undang Pesantren menjadi bentuk rekognisi negara secara resmi terhadap peran penting santri. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan baru muncul di tengah masyarakat, terutama bagi para santri.

Era disrupsi teknologi telah mengubah lanskap informasi dan pengetahuan. Kini, akses terhadap berita, pandangan, dan ilmu pengetahuan tidak lagi terbatas pada sumber-sumber yang terverifikasi, tetapi mengalir deras dari sumber yang tidak jelas sekalipun. Media sosial dan berbagai platform digital menjadi tempat di mana informasi kadang-kadang sulit dipisahkan antara yang benar dan yang salah.

Ketidakpastian semakin diperumit oleh munculnya pandangan ekstrem dan radikal dalam beragama yang salah satu sumbunya adalah pemahaman yang dangkal. Era disrupsi yang ditandai dengan kecepatan, kemudahan dan ketidakpastian memicu lahirnya pemahaman yang salah dalam memahami peristiwa. Konflik Palestina-Israel misalnya, diiringi dengan berbagai narasi dan isu-isu sensitif dan provokatif seperti seperti "Bela Islam," "Save Palestina," "Khilafah Solusi Palestina," dan "Jihad".

Karena itu umat Islam dan para santri seluruh Indonesia untuk bersama-sama memusnahkan isu-isu sensitif dan provokatif , agar Islam tetap seperti agama sebagai mana adanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline