Lihat ke Halaman Asli

Aswin Elfazuri

Seorang Guru yang bertransformasi menjadi Trainer Profesional dan menyukai menulis

Guru, Luar Biasanya Dirimu

Diperbarui: 6 Mei 2017   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua Mei,  Hari Pendidikan Nasional,  Ki Hajar Dewantara,  dan Tut Wuri Handayani.  Dua Mei,  Hari Guru,  Pahlawan Tanpa Tanda Jasa,  hingga himnenya masih kuingat hingga,  meski sudah puluhan tahun tak pernah menyanyikannya.  Alam bawah sadar,  begitulah ia tersimpan rapi,  gelombang alfa dan tetha yang menguatkan. 

Guru,  tak siapapun dari kita pernah lepas dari mereka,  sejak dulu hingga kini.  Orang yang digugu dan ditiru,  layak sejak dulu hingga kini,  meski berbagai berita miring kadang ikut bertiup di senila negeri. 

Bu Minah,  jalannya hingga kini masih kuingat nyata, terseok-seok menapak tanjakan di jalan kampungku.  Limaratus tigapuluh empat langkah,  kami sering mengukurnya tiap hari.  Wanita luar biasa yang memaksaku merubah kidalku dengan kelembutan,  walau ratusan bulir airmata harus mengalir kala menuliskan nama.  Susah payah,  namun indah pada akhirnya : juara kelas nomor dua.  

Bu Seni,  Pendidikan Moral Pancasila,  guru desa dengan segala keidealisan berharga.  Bercerita dua jam penuh tentang banyak peristiwa,  moral dijaga,  maka nama baikpun akan selalu terjaga.  "Patah kayu karena arang,  patah diri karena terbilang, " begitulah yang sering beliau tuturkan. 

Bu Win,  Geografi,  Ilmu Bumi yang tak terbantahkan.  Atlas menunjukkan,  globe menampakkan,  dan peta buta melatih diri.  Bremen pusat tembakau,  Greenland negeri hijau di lautan es,  Alaska bertaburan salmon menjemput cinta,  hingga Vladivostoc berlabuhnya kapal bertenaga nuklir.  Jangan ditanya keajaiban dunia,  karena bagi diriku beliaulah salah satu keajaiban dalam hidupku : membuka dunia, hingga mimpi berwujud di separuh hari. 

Bu Nati,  Pendidikan Agama,  hakikat hidup sesungguhnya.  Hidup tidak hari ini,  perjalanan barulah dimulai,  fase hidup di dunia adalah ketiga perjalanan kita.  Masih ada alam barzakh,  hari kebangkitan,  Padang Mahsyar,  Syafaat,  hisab,  penyerahan catatan amal,  Mizan,  telaga Rasulullah,  shirothalmustaqiim,  dan akhirnya neraka atau surga.  Ibu Kartini juga pernah menegaskannya kala kami mulai remaja. 

Pak Lulet,  matematika nomor satu,  asal perkembangan ilmu pengetahuan,  bilangan biner,  dan isilah hidup dengan semua tanda matematika.  Tambahkan nilai hidupmu,  kurangi kekuranganmu,  bagilah ilmu dan rezekimu,  kuatkan akar imanmu,  pangkatkan rasa hormatmu, dan kalikan kebaikan orang lain.  

Pak Su,  berbahasa Indonesia-lah dengan kebanggaan, kita dipersatukan oleh persamaan,  bukan perbedaan.  Perbedaan yang kian memperindah,  itulah mengapa kita menulis indah.  Halusnya tulisan merefleksikan lembutnya hati sang empunya jiwa.  Kebahagiaan selalu ada pada kita yang berbudi dalam berbahasa.  

Pak Supanto,  ia mirip dengan ibu Asmarani,  berkicau dengan bahasa global di seluruh bumi : Inggris.  Keberagaman adalah keindahan,  bahasa Inggris-lah yang menjalinkannya.  "Mereka yang menguasai bahasa adalah penguasa bijak dunia,"  begitulah yang sempat kutulis di halaman terdepan buku catatan kala itu. 

Akan halnya bu Carol,  hakekat hidup itu adalah kehidupan itu sendiri.  Dimanapun kita berada,  bernafaslah dengan kebahagiaan,  bergeraklah dengan keyakinan laksana akar menembus tanah yang dalam,  atau pucuk yang mengejar matahari.  Ambillah hanya sari kehidupan,. angkatlah melalui pembuluh semangatmu,  dan masaklah di daun profesimu,  maka akan kau dapatkan makna kehidupan yang sesungguhnya, karena hidup itu adalah Biologi Kehidupan yang menggembirakan. 

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline