Senja baru saja bergulir. Matahari bersinar redup. Teriknya tak lagi garang.
Kulihat Emak sibuk di ruang makan menyiapkan takjil. Sementara adik kecilku, Aisyah tekun tadarus di ruang tamu.
Aku sendiri berkutat dengan pekerjaanku. Mengisi berkas-berkas dari KUA setempat untuk keperluan pernikahanku yang tinggal menghitung hari.
Di luar angin bertiup lembut. Wanginya merebak masuk melalui jendela kamar yang daunnya sengaja kubiarkan terbuka.
"Masih belum kelar, Dot?" Emak melongokkan wajah.
"Tinggal sedikit lagi, Mak. Ada apa?" aku menggeser kursi yang kududuki. Emak tidak menyahut.
Sejenak aku tertegun. Sedikit heran. Tumben kali ini Emak tidak banyak bicara?
Merasa ada sesuatu yang tidak beres, segera kurapikan meja dan gegas menghampiri Emak yang masih berdiri di ambang pintu.
"Kenapa Mak? Ada yang dipikirin? Kangen almarhum Bapak, ya?" tanyaku sengaja menggodanya.
"Bukan itu, Dot. Kalau kangen Bapakmu aku tinggal pergi ke makamnya dan berdoa di sana. Ini masalah diri Emak sendiri."
"Memang Emak kenapa? Sakit?" aku menyentuh lengan lembut Emak.