Lihat ke Halaman Asli

Efi anggriani

Wiraswasta

Aku Seorang Pesinden

Diperbarui: 8 November 2019   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada jaman dulu.

Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin di desa,  namun dikarunia suara yang sangat bagus dan wajah yang lumayan menarik serta karisma yang memikat begitu banyak pria.

Aku menyanyi dari panggung ke panggung mengiringi sang dalang,   yang memainkan wayang semalam suntuk dan aku menyanyikan lagu daerah bersama rekan sekerjaku sesama sindhen.

Jangan bertanya tentang bedak merek apa yang kupakai , merek yang termurah dan wewangian yang termurah. Aku harus bisa menyanggul sendiri konde atau sanggulku dan mematut diriku hingga tampil menarik di hadapan pengunjung, di samping suaraku yang membuat terpesona beribu pria baik tua maupun muda.

Aku hidup di jaman televisi masih langka dan hiburan di desa hanyalah wayang kulit semalam suntuk , yang selalu didatangi penonton dari berbagai desa. Semakin terkenal sang dalang , semakin banyak peminat yang menonton.

Sang dalang yang selalu memakai suaraku adalah kebetulan pamanku sendiri,  dan meski sudah ditawari untuk ikut dalang yang lain , aku merasa aman di bawah perlindungan pamanku yang berusaha mengentaskan kemiskinan orang tuaku.

Hidupku begitu keras dengan predikatku yang dianggap sangat rendah waktu itu , mungkin karena mencari uang dengan bernyanyi atau menembang dari satu pelosok ke pelosok lainnya dan berdandan begitu rupa seolah sedang menarik perhatian dengan pesonanya.

Aku bersekolah di sebuah sekolah swasta yang tidak terkenal karena kemampuanku hanya sebegitu saja, namun aku pandai menyanyi dan menembang dan membantu orang tuaku yang sedang sakit keras, ayahku meninggal karena Leptospirosis saat menggali got dekat pematang sawah milik kami, ibuku menderita kelumpuhan . Aku harus menghidupi keluargaku dan satu adikku, jalan satu-satunya aku bersekolah dan menjadi sindhen atau pesindhen.

Aku pesindhen termuda dan tercantik dan masih murni , aku jatuh cinta pada teman sekolahku , putra seorang priyayi dan dia juga jatuh cinta kepadaku dan bertekat akan menikahiku kelak dan menyuruhku meninggalkan pekerjaan pesindhen yang waktu itu dianggap rendah.

Hubungan kami terhalang strata sosial dan keluarga pria yang kucintai datang ke rumahku , melemparkan sejumlah uang dan menyuruhku pindah dari rumahku , pindah ke desa lain dan menjauh dari pria itu.

Kami sekeluarga pindah dan pindah sekolah juga , aku mencoba mencari kerja setelah lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah sekolah sebagai pegawai TU di desa lain , namun cap sindhen itu tetap melekat di tubuhku seperti tanda lahir yang tidak bisa dihapus selamanya , begitu tahu aku bekas seorang sindhen , aku diberhentikan dari pekerjaan dan aku tidak tahu apa salahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline