Jika diajak bermain "sebutkan kata pertama yang kamu pikirkan ketika kamu mendengar kata...." dan titik-titik itu harus diisi dengan kata "BOGOR", maka jawaban saya adalah "hujan". Tetapi itu adalah jawaban saat awal pertama saya datang kemari, itu tahun 2013.
Belum mampu rasanya menilai dengan betul jika waktu saya di sini baru berumur empat tahun, tetapi tidak salah pula rasanya mencoba melengkapi padanan tentang "siapa Bogor?". Setelah empat tahun lamanya, bagi saya Bogor seperti perempuan.
Rendra menggunakan kata "BELUT" untuk mengibaratkan perempuan, katanya "perempuan bagai belut, meski telah kau kenali lekuk liku tubuhnya, sukmanya selalu luput dari genggaman".
Begitulah Bogor, ia melengkapi keutuhkan iman saya tetang paradoks. Bogor selalalu seperti itu, ia cantik tapi menjengkelkan.
Bogor sungguh cantik, saya tidak bohong, sekian kali berpergian kesudut-sudut kota dan desanya, saya selalu berjumpa gunung, sungai, air terjun, hutan, dan orang-orang yang ramah.
Tetapi dalam perjalanan, saya sungguh dibuat jengkel dengan macet, panas, petir, angkot, pak ogah, serta jalan-jalan yang miskin jembatan penyebrangan dengan lalu lintas yang ramai.
Memiliki Kebun Raya dengan kekayaan spesies yang lebih banyak dari pada daki di tubuh, memiliki rumah bagi orang dengan kode "RI 01", menjadi rumah bagi sebagian pengguna setia KRL, menjadikan Bogor sungguh perempuan. Perempuan yang seperti rumah, tempat kembali, tempat berteduh, tempat mengadu, seperti ibu.
Bogor pun, bagi spesies-spesies, bagi ia dengan kode "RI 01", bagi pekerja-pekerja di kerasnya Ibu Kota, dan bagi saya yang kebetulan menjadi murid disalah satu kampusnya. Tetapi Bogor juga bisa berubah menjadi rumah yang tidak ramah.
Bau amis comberan, kemacetan yang lebih panjang dari pada rel kereta, hujan lengkap dengan angin dan petir yang mengerikan, tempat makan/Mall yang tutup seperti jam asrama mahasiswa IPB tingkat pertama, Pak ogah yang ramai di tengah jalan dan Polisi yang entah dimana bersarang, serta sekelumit hal lainnya yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Bogor mempertemukan saya dengan banyak hal dan mengubah banyak padangan saya tentang teman, persahabatan, pengetahuan, cinta, makanan, budaya, dsb.
Bogor sanggup membuat saya tertawa terpingkal-pingkal akibat apa saja sekaligus membuat air mata saya tumpah di angkot, di bawah payung, di depan pagar, di ruangan dosen pembimbing, di toilet kampus, di bioskop, di trotoar, di toko buku.