Mohon tunggu...
Alvita Rosa
Alvita Rosa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudah 4 Tahun, Bolehkan Kusebut Engkau Bogorku?

27 Januari 2018   20:44 Diperbarui: 27 Januari 2018   21:22 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika diajak bermain "sebutkan kata pertama yang kamu pikirkan ketika  kamu mendengar kata...." dan titik-titik itu harus diisi dengan kata  "BOGOR", maka jawaban saya adalah "hujan". Tetapi itu adalah jawaban  saat awal pertama saya datang kemari, itu tahun 2013. 

Belum mampu  rasanya menilai dengan betul jika waktu saya di sini baru berumur empat  tahun, tetapi tidak salah pula rasanya mencoba melengkapi padanan  tentang "siapa Bogor?". Setelah empat tahun lamanya, bagi saya Bogor seperti perempuan. 

Rendra menggunakan kata "BELUT" untuk mengibaratkan  perempuan, katanya "perempuan bagai belut, meski telah kau kenali lekuk liku tubuhnya, sukmanya selalu luput dari genggaman". 

Begitulah Bogor, ia melengkapi keutuhkan iman saya tetang paradoks.  Bogor selalalu seperti itu, ia cantik tapi menjengkelkan. 

Bogor sungguh  cantik, saya tidak bohong, sekian kali berpergian kesudut-sudut kota dan  desanya, saya selalu berjumpa gunung, sungai, air terjun, hutan, dan  orang-orang yang ramah. 

Tetapi dalam perjalanan, saya sungguh dibuat  jengkel dengan macet, panas, petir, angkot, pak ogah, serta jalan-jalan  yang miskin jembatan penyebrangan dengan lalu lintas yang ramai.

Memiliki Kebun Raya dengan kekayaan spesies yang lebih banyak dari  pada daki di tubuh, memiliki rumah bagi orang dengan kode "RI 01",  menjadi rumah bagi sebagian pengguna setia KRL, menjadikan Bogor sungguh  perempuan. Perempuan yang seperti rumah, tempat kembali, tempat  berteduh, tempat mengadu, seperti ibu. 

Bogor pun, bagi spesies-spesies,  bagi ia dengan kode "RI 01", bagi pekerja-pekerja di kerasnya Ibu Kota,  dan bagi saya yang kebetulan menjadi murid disalah satu kampusnya.  Tetapi Bogor juga bisa berubah menjadi rumah yang tidak ramah. 

Bau amis  comberan, kemacetan yang lebih panjang dari pada rel kereta, hujan  lengkap dengan angin dan petir yang mengerikan, tempat makan/Mall yang  tutup seperti jam asrama mahasiswa IPB tingkat pertama, Pak ogah yang ramai di tengah jalan dan Polisi yang entah dimana bersarang, serta  sekelumit hal lainnya yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Bogor mempertemukan saya dengan banyak hal dan mengubah banyak  padangan saya tentang teman, persahabatan, pengetahuan, cinta, makanan,  budaya, dsb. 

Bogor sanggup membuat saya tertawa terpingkal-pingkal akibat apa saja sekaligus membuat air mata saya tumpah di angkot, di  bawah payung, di depan pagar, di ruangan dosen pembimbing, di toilet  kampus, di bioskop, di trotoar, di toko buku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun