Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisarah di Angkutan Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angkutan kota kembali melaju meski dudukku belum benar-benar pas di bangku yang melajur dua di dalamnya. Tatapan mataku langsung terpaut pada sosok seorang ibu muda yang sedang memainkan jari-jemarinya pada sebuah ponsel.

Seorang anak balita yang lucu luput dari perhatiannya. Hanya sesekali terdengar kata-kata : “Awas jatuh…, ….duduk sini, …..jangan buat mami marah ya?” ujarnya setengah berteriak kepada anak lelaki berusia satu tahun lebih itu tanpa ada jawaban dari sang anak karena tentu saja si anak belum bisa ngomong.

Tiba-tiba saja aku terkejut setengah mati ketika si anak dari pikirannya berkata-kata padaku, dan langsung masuk ke dalam alam sadarku. “Tante…Tante… heran ya…lihat Mamiku BBM-an terus gak pedulikan aku anaknya?” ujarnya sembari menatapku dengan wajah lucunya.

Ilusi ini membuatkau menjadi bodoh. “Mana ada komunikasi dua orang bisa terjadi dari pikiran tanpa kata-kata terucap.” Sergahku mengingatkan diri sembari mengusap wajah.

Sekali lagi aku terperangah ketika bocah itu berucap : “Tante jangan heran, aku tau kenapa tante merasa bodoh. Karena kita ngomongnya gak pake kata-kata ya?”

Kucoba ikut alur pikirannya, aku mulai bertanya padanya : “siapa namanya nak?” tanpa bersuara dia menjawab : “Toni…Tante, lengkapnya Anton Pramudya Prakasa…, keren ya…tante namaku?”

“Iya…tante, tapi Mamiku rada cuek samaku. Lihat aja tuh Mami asyik sendiri” katanya sambil mengarahkan tatapan matanya kepada Maminya.

Senyumnya kembali mengembang padaku. Tatapan matanya menusuk jauh ke dalam lubuk hatiku. Pikiran-pikiran anak itu bisa kudengar jelas bahkan keinginannya juga.

“Tante…, boleh aku duduk di pangkuan Tante?” pintanya dengan lembut.

Aku tak kuasa menolak permintaannya, tapi aku tak bisa sembarangan meraih tangannya dan mendudukkan tubuh mungilnya di pangkuanku. Aku hanya menyesali mengapa seorang ibu tega membiarkan moment penting dari pertumbuhan seorang anak karena asyik dengan BBM-an.

“Tante…!” teriaknya. Tangannya mengulur padaku bersamaan dengan hentakan gas angkot yang membuat tubuh mungil itu hampir terjerembab. Aku memegangi tangannya, sekali lagi hanya berani memagangi tangannya khawatir dia terjatuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline