Lihat ke Halaman Asli

"Lonceng Kematian" Pariwisata Indonesia

Diperbarui: 28 Februari 2020   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bdetrans.com

Pada suatu kesempatan di Bandara saat menunggu bagasi saya berjumpa dengan puluhan remaja usia SMP yang ikut menunggu bagasi masing-masing, mereka berpakaian bebas, banyak diantara mereka yang mengenakan kaos bergambar destinasi wisata yang banyak candi dan ragam kulinernya.

Pasti ada guru pendamping bersama mereka, tapi saya tak menemukannya karena tak ada kerumunan guru yang dikerubungi murid-muridnya, terlihat mereka sangat mandiri mengurus barang bawaannya. Dari penampilan dan gaya mereka, saya menduga mereka berasal dari SMP swasta di Jakarta yang pulang berlibur bersama teman sekolahnya.

Suatu ketika, saya berjumpa dengan banyak murid berseragam yang sama di Masjid Istiqlal Jakarta, dari logo dan tulisan badge di bajunya diketahui bahwa mereka berasal dari sebuah  sekolah negeri di Jawa Tengah. Mereka tiba di Istiqlal menggunakan alat transportasi bus.

Dua peristiwa di atas erat kaitannya dengan pariwisata, sebuah proses mendidik karakter anak negeri mencintai negara, belajar mengelola perjalanan, yang targetnya  membuat penduduk negeri yang berwawasan luas.

Saat ini perjalanan wisata yang dikelola sekolah sangat jarang diadakan, bahkan hampr tak pernah, jika anda sebagai orang tua coba diingat kapan terakhir putra putri anda yang bersekolah di sekolah negeri melakukan perjalanan wisata bersama teman sekolah didampingi guru-gurunya, atau jika anda sebagai guru di sekolah negeri coba inhat kapan terakhir sekolah anda mengadakan perjalanan wisata bersama murid?

Sepertinya sekolah tak boleh mengutip biaya kepada murid termasuk untuk berwisata. Atau seolah sekolah kehilangan keberanian menyelenggarakan kegiatan perjalanan wisata walaupun tak sedikit kompetensi pada beberapa mata pelajaran. Guru yang kreatif biasanya menugaskan muridnya belajar dengan memanfaatkan internet, yang lain hanya mengandalkan buku perpustakaan.

Saya sering melakukan observasi setelah liburan sekolah, mayoritas murid menyatakan selama liburan hanya stay di rumah, sedikit sekali murid yang melakukan perjalanan wisata saat liburan.

Ketika saya sekolah di SMP negeri di Jakarta pada akhir tahun tujuhpuluhan beberapa kali melakukan study tour (istilah saat itu) ke beberapa musium dan objek wisata dengan menggunakan beberapa bus bersama seratus lebih murid satu angkatan didampingi guru-guru. 

Kunjungan murid-murid sekolah ke objek wisata akan meninggalkan memori dalam fikiran anak negeri dan akan diulangi saat dia remaja, dan setelah berkeluarga akan membawa keluarganya mengunjungi objek wisata. Mengandalkan kunjungan turis asing sangat sulit karena turis domestik jumlahnya jauh lebih banyak, menurut anda?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline