Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Oknum, Kekejaman Tak Terperi Atas Nama Agama

Diperbarui: 16 Maret 2019   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

brenton tarant (tribun.batam.tibunnews.com)

Sekilas terasa ngeri merasakan tantangan zaman sekarang, ternyata kebiadaban kekejian, terorisme, kejahatan berasal dari pemahaman agama yang keliru. Tidak mungkin agama mengajarkan kejahatan, pembunuhan apalagi melakukan penembakan secara brutal, meledakkan diri dalam sebuah kerumunan orang banyak, menyuarakan betapa kuasa Tuhan itu besar tetapi dengan melakukan pembantaian atas nama agama. Mereka adalah oknum, sempalan dari paham agama garis keras. Hampir semua agama memiliki orang- orang yang menafsirkan agama menurut keyakinan diri sendiri.

Agama dan Terorisme yang Susah Dipisahkan

Pada beberapa dekade ini ribuan bahkan jutaan orang menjadi korban dari perseteruan antar agama. Terorisme lahir dan muncul karena ketidakadilan, kemiskinan, diskriminasi, doktrinasi agama yang keliru hingga melahirkan sikap- sikap radikal yang tidak menampilkan wajah agama yang pendamai, penyayang, penuh kasih sayang. Mereka malah menampilkan brutalitas. Atas nama agama oknum- oknum itu membunuh dan melakukan genosida untuk menumpas saudara mereka yang berpaham lain.

Mungkin akibat berita, aksi- aksi terorisme agama maka radikalisme agama bergerak dan muncul dari orang- orang yang tidak terima agama mereka dilecehkan dan dijadikan sasaran kekejaman. Maka sempalan- sempalan agama yang salah memahami ajaran it uterus menimbun dendam, menimbun kebencian hingga akhirnya meledak dan kemanusiaan mereka hilang berganti suara iblis yang membisiki mereka untuk melakukan balas dendam.

Bukan karena Ajaran Agama Melainkan "Oknum"yang Salah Menafsirkan Ajaran

Siapapun oknumnya atas agama siapapun kekejian tidak pernah dibenarkan. Bagi kita jangan tanggapi aksi brutal apapun dengan hati dan jiwa meradang yang akhirnya menghantar kita untuk saling curiga, saling menuduh dan melempar kecurigaan pada masing- amsing agama yang sebelumnya bisa berdampingan dengan damai.

Maka seruan untuk tidak menyebarkan konten kekerasan atau memviralkan adegan keji penembakan, pengeboman seperti yang terjadi di Selandia Baru di daerah Christchurch Jumat 15 Maret 2019 itu benar. Adegan kekerasan, live streaming kekejian adalah kejahatan kemanusiaan. Tentu tujuan sukses jika orang lain, netizen atau siapapun pengguna media sosial lalu secara tidak sengaja membagikannya ke orang lain walaupun sebetulnya hanya untuk mengingatkan untuk mengecam aksi brutal dan biadab tersebut.

Brutalitas adalah milik manusia. Bahkan manusia ternyata lebih keji dari binatang yang paling ganas sekalipun. Manusia mempunyai akal, pikiran dan kesadaran. Jika membunuh dilakukan dengan sadar berarti manusia itu telah melecehkan kesadarannya melebihi binatang. Ketika nyawa terasa "receh" dan atas nama keyakinan mengumbar kebencian maka manusia telah ditelikung iblis secara tidak sadar. Iblis sukses merayu manusia untuk membalaskan dendam dan ketika keinginan iblis diamini maka sukses besar bagi iblis dan ujian bagi pemeluk agama yang merasa kecolongan agamanya menjadi loncatan untuk melakukan pembantaian.

terorisme dan radikalisme agama merupakan sel sel kekejian manusia (satuharapan.com)

Atas nama agama susah terbayangkan manusia dengan dinginnya melakukan penembakan. Dengan sadar dan  di video live pula. Segera tuduhan akan menyasar oh ternyata agama ini yang salah mengajarkan agama agama itu yang ternyata membuat terorisme berkembang pesat dan sebagainya. Lalu iblis akan tersenyum lagi jika agama dan agama saling lempar kecurigaan dan akhirnya perang tidak terelakkan.

Hitam Putih Bathin Manusia

Kajian mengenai agama, terorisme dan tragedi kemanusiaan sudah banyak ditulis. Sejak awal konflik atas nama agama belum bisa diselesaikan. Padahal para pemimpinnya sudah menyerukan untuk berdamai. Ketika ISIS sudah mulai surut di pusat konflik (Suriah, Irak) sel- selnya menyebar ke seluruh dunia, sel sel itu tidak mati. Doktrin itu telah tertanam di otak dan menjadi dogma yang susah dihilangkan karena sudah terjadi cuci otak yang susah dinetralisir. Sel sel itu bakal berkembang manakala negara didera konflik  ketidakadilan dan kemiskinan masih menjadi momok yang siap meledakkan konflik sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline