Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Tangkal Hoaks, Galakkan Jurnalisme Perdamaian

Diperbarui: 16 Mei 2018   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkal Hoax, Galakkan Jurnalisme Perdamaian (Sumber: GDJ - Pixabay.com)

Dalam suasana duka atas teror di Mako Brimob Depok disusul tragedi bom di tiga gereja di Surabaya, ternyata masih saja tersebar banyak berita terkait ancaman bom. Bukan hanya di Surabaya, tetapi juga di kota-kota lain, seperti Sidoarjo, Semarang, Jakarta, dan lain-lain. Tragisnya, berita yang sontak menimbulkan keresahan dan ketakutan di masyarakat ternyata adalah berita palse/bohong (fake news) alias hoax!

Hoax adalah berita palsu yang sama sekali tidak benar, bahkan sumber beritanya pun tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun ketika menerima berita bohong semacam itu, tidak sedikit orang yang langsung menyebarluaskannya ke berbagai grup WA/BBM atau media sosial lain yang diikutinya. Mereka tidak lagi memeriksa kebenaran berita dan/atau kredibilitas sumber berita. Sebagian orang bahkan "merasa berjasa" jika menjadi orang pertama yang berhasil menghadirkan "berita bohong" tersebut ke ruang-ruang komunikasi di media sosial. Mereka seakan tidak peduli bila nantinya berita tersebut memicu polemik; berakibat munculnya kericuhan atau perselisihan antarkelompok; terusiknya kedamaian dan perdamaian karena merasa ketakutan atau terpicu kebencian; dan berbagai dampak buruk lain.

Sikap "asal sebar berita" dan "tidak peduli dampak berita" tersebut agaknya ingin diantisipasi oleh Paus Fransiskus-Pemimpin Gereja Katolik seluruh dunia-lewat pesan yang dikeluarkan pada Hari Komunikasi Sedunia (World Communications Day) pada 13 Mei 2018 yang lalu. Pesan Paus Fransiskus yang menjadi tema perayaan ini adalah "Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian". Dengan pesan ini, Paus menegaskan bahwa Gereja Katolik menaruh perhatian serius atas ancaman beredarnya berita bohong (hoax) yang kian marak dan memprihatinkan. Seruan Paus Fransiskus terkait pentingnya "jurnalisme perdamaian" ini pertama kali disampaikan pada Pesta St. Fransiskus de Sales, Pelindung Para Jurnalis, pada tanggal 24 Januari 2018.

Sebagai informasi, Hari Komunikasi Sedunia (World Communications Day) menjadi satu-satunya perayaan di seluruh dunia yang diminta oleh Konsili Vatikan Kedua (Inter Mirifica-Dekret tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial-salah satu dekret dari Konsili Vatikan II pada 1963). Setiap tahun Hari Komunikasi Sedunia dirayakan sebelum Perayaan Pentakosta. Hari Komunikasi Sedunia pertama kali dirayakan pada 7 Mei 1967, dan tahun ini menjadi perayaan yang ke-52.  

Kembali kepada Surat Paus Fransiskus, kita diingatkan bahwa komunikasi adalah bagian dari rencana Allah bagi manusia serta jalan utama menjalin persahabatan. Sebagai manusia yang diciptakan seturut gambar dan rupa Sang Pencipta, idealnya kita mengungkapkan serta membagikan hal-hal yang benar, baik, dan indah. Kita perlu waspada karena keegoisan dan kebanggaan diri mampu merusak cara kita menggunakan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan memutarbalikkan kebenaran menjadi gejalanya. Terlebih lagi pada era komunikasi dan sistem digital yang berubah demikian cepat ini.  

Sumber: www.vaticannews.va & www.dbb.org.au

Paus Fransiskus mengajak dunia, terutama Umat Katolik, untuk memahami berbagai hal terkait makna berita palsu/bohong (fake news) atau hoax; bagaimana mengenali berita bohong; juga cara mempertahankan diri dari kepalsuan dan/atau menangkal berita bohong. Beberapa hal penting terkait berita bohong (hoax) yang disampaikan Paus Fransiskus dalam suratnya saya catat dalam poin-poin berikut.
  • Berita palsu/bohong didasarkan pada data yang TIDAK ADA atau TERDISTORSI untuk menipu dan/atau memanipulasi penerima berita. Pada umumnya memiliki tujuan tersembunyi, seperti memengaruhi keputusan politik, melayani kepentingan ekonomi, dan sebagainya.
  • Berita palsu/bohong biasanya terlihat masuk akal atau meyakinkan dan mampu menarik perhatian karena memunculkan stereotip serta hal-hal yang ingin diketahui masyarakat, dan mengeksploitasi beragam emosi sesaat, seperti kecemasan, kemarahan, penghinaan, dan frustasi.
  • Berita palsu/bohong cenderung berkembang karena adanya interaksi masyarakat dalam lingkungan digital yang homogen yang cenderung tidak mempan ditembus perbedaan pendapat (sudut pandang). Kondisi demikian semakin berkembang karena tidak ada sumber informasi lain yang secara efektif mampu menandingi prasangka serta menghasilkan dialog yang konstrukstif. Akibatnya si penerima berita pun kemudian justru menjadi "penyebar" berita terkait.
  • Berita palsu/bohong cenderung mendeskreditkan orang lain, menghadirkan mereka sebagai musuh, sampai pada titik yang menjelekkan mereka dan menimbulkan konflik.    
  • Berita bohong mencirikan sikap tidak toleran dan hipersensitif, dan hanya mengarah pada penyebaran arogansi dan kebencian.
  • Berita palsu/bohong SELALU BERBAHAYA, sekalipun hanya sedikit saja fakta yang terdistorsi; dan memercayai berita bohong mengemban konsekuensi yang sangat buruk.
  • Berita palsu/bohong menyebar dengan cepat, menjadi viral, dan sulit dihentikan, BUKAN karena tingginya rasa berbagi sebagaimana jiwa media sosial, melainkan karena terangsangnya keserakahan/ego dalam diri manusia yang cenderung tak kunjung terpuaskan. Misalnya, rasa haus akan kekuasaan dan keinginan untuk memiliki atau menikmati sesuatu.

Waspada fake news alias hoax (Sumber: Geralt - Pixabay.com)

Paus Fransiskus berpesan bahwa meskipun bukan pekerjaan gampang, kita semua bertanggung jawab menangkal berita bohong. Pada salah satu bagian Bapa Paus menyebut perlunya pendidikan tentang kebenaran, agar kita dapat membedakan, mengevaluasi, dan memahami keinginan terdalam kita. Jangan sampai kita kehilangan pandangan tentang apa yang baik dan menyerah pada setiap godaan. Selanjutnya beliau juga menyampaikan bahwa untuk mempertahankan diri dari kebohongan kita perlu memiliki penangkal jitu, yakni pemurnian oleh kebenaran.  

Kebenaran bukan hanya tentang benar-salah atau sekadar mengungkap yang tersembunyi, tetapi mencakup keseluruhan hidup kita. Dalam Alkitab, kebenaran bermakna dukungan, solidaritas, juga kepercayaan. Kebenaran dapat menjadi tempat bersandar agar tidak jatuh. Satu-satunya yang sungguh dapat diandalkan serta dipercaya adalah Tuhan yang hidup. Dalam iman Kristiani, Kristuslah Kebenaran. Kita menemukan dan kembali menemukan kebenaran ketika kita mengalaminya sendiri, dalam kesetiaan dan kepercayaan kepada Sang Kebenaran yang mengasihi kita. Dengan demikian kebenaran akan membebaskan kita, sebagaimana kutipan yang dipilih "Kebenaran akan memerdekakan kamu" (Yoh. 8:32).

Paus Fansiskus menekankan agar kata maupun perbuatan kita hendaknya bebas dari kepalsuan. Kita pun harus senantiasa mencari relasi. Dengan demikian kata dan sikap kita benar, otentik, dan dapat dipercaya. Sementara, untuk mengenal kebenaran, kita diajak mengenali segala hal yang mendorong kerukunan serta memajukan kebaikan; bukan yang cenderung mengasingkan, memecah belah, dan menentang. Menurut Bapa Paus, kita dapat mengenali kebenaran dari suatu pernyataan melalui buah-buahnya. Apakah perkataan tersebut memancing pertengkaran, memunculkan perpecahan, mendorong pengunduran diri; ataukah sebaliknya yaitu mengembangkan informasi dan refleksi matang yang mengarah kepada dialog konstrukstif yang bermanfaat.    

Sebagai penutup, Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk memajukan jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian adalah jurnalisme yang jujur serta menentang kebohongan, slogan-slogan retoris, dan berita utama yang sensaisonal. Jurnalisme perdamaian diciptakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat, melayani semua orang, terutama mereka yang tidak bersuara. Jurnalisme perdamaian tidak terfokus pada "breaking news" saja, tetapi juga berupaya menyelidiki penyebab konflik guna mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan berkontribusi memberi solusi dimulai dengan proses yang baik. Jurnalisme perdamaian berkomitmen menunjukkan berbagai alternatif terkait peningkatan perselisihan dan kekerasan verbal.   

Berhati-hati sebelum membagikan berita/informasi di media sosial (Sumber: stux - pixabay.com)

Meskipun Paus Fransiskus secara khusus menyebut "jurnalis" atau "pewarta", sebenarnya surat beliau menyapa semua orang dari segala profesi. Surat ini juga relevan untuk masyarakat universal. Bagaimanapun harus disadari bahwa saat ini bukan jurnalis/pewarta saja yang memiliki kemampuan "menyebarkan" berita tetapi juga masyarakat awam.  Semakin canggihnya gawai dan pesatnya perkembangan media sosial daring (online), membuat sebuah berita/informasi dapat tersebar dengan sangat cepat hanya dalam hitungan detik.  Oleh karena itu, setiap pribadi diketuk untuk memiliki tanggung jawab sosial membantu menghentikan penyebaran berita/informasi bohong. Yuk tangkal hoax, galakkan jurnalisme perdamaian!   
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline